Memetik Hikmah Nuzulul Qur'an, Mengikis Ironi dalam Puasa Ramadan
Ada semacam perbedaan suasana antara puasa di bulan Ramadhan (puasa wajib) dengan puasa di luar bulan Ramadhan (puasa sunat). Pada puasa sunat makan sahur dan buka puasa tidak menjadi sesuatu yang spesial, seperti pada puasa wajib di bulan Ramadhan. Ini barangkali karena puasa sunat bersifat sangat individual, dalam arti sedikit sekali orang yang melaksanakannya.
Berbeda dengan puasa wajib di bulan Ramadhan yang dilaksanakan secara serempak oleh umat Islam di seluruh dunia.Mereka yang menjalankan puasa sunat, hampir tidak pernah memikirkan untuk secara khusus menyiapkan makanan berbuka maupun untuk sahur, bahkan sekedar takjil. Kalau saat berbuka ada di rumah, maka cukup dengan makanan yang tersedia untuk makan malam keluarga. Kalau kebetulan ada di luar rumah, ya paling cari seketemunya tempat makan.
Saat menginjak remaja ketika saya baru belajar puasa sunat senen kemis (ada banyak puasa sunat, diantaranya puasa senen kemis), Nenek saya tidak nengijinkan saya makan saat waktu sahur, hanya segelas air putih atau secangkir teh tawar hangat yang disiapkan untuk saya. Menurut Nenek, puasa itu belajar merasakan lapar. Dengan puasa kita bisa merasakan lapar yang dialami mereka yang tidak punya makanan karena hidup dalam kekurangan. Jadi, kata Nenek, kalau kamu saat sahur sempat makan, bagaimana kamu bisa merasakan hal itu.
Hal yang menarik, selain urusan makan saat buka dan sahur yang tidak menjadi momen spesial, dalam puasa sunat jarang sekali orang meributkan kekhawatiran kurus atau gemuk, kambuhnya sakit maag atau terganggunya produktifitas, juga merasa terganggu oleh mereka yang tidak puasa. Semua berjalan begitu saja sebagaimana normalnya aktifitas sehari-hari.
Mereka yang puasa sunat tidak pernah minta dispensasi jam kerja misalnya. Atau minta dibebaskan dari job-job tertentu. Mereka sangat menyadari puasanya tidak boleh mengganggu produktifitasnya. Dan mereka bisa membuktikan bahwa puasa itu ibadah yang bernuansa produktifitas.
Mereka yang puasa sunat, tidak pernah merasa terganggu oleh mereka yang tidak berpuasa. Mereka akan mempersilakan orang yang tidak puasa untuk menyantap makanan yang tersedia tanpa harus merasa sungkan kepada yang sedang menjalankan puasa sunat.
Mereka yang sedang menjalankan puasa sunat tidak pernah terpikir untuk mengharapkan orang lain menghormatinya karena puasanya. Bukan karena tidak punya kekuatan untuk menuntut itu, tetapi semata-mata karena baginya puasa itu tidak butuh dihormati. Sebaliknya puasa itu butuh menghormati. Menghormati orang lain yang tidak berpuasa adalah sebaik-baik orang yang berpuasa.
Hal-hal seperti di atas, tidak berlaku saat puasa wajib di bulan Ramadhan. Kita misalnya merasa terganggu oleh aktifitas makan minum dari orang yang tidak berpuasa. Kita merasa orang lain yang tidak berpuasa harus menghormati kita yang sedang menjalankan ibadah puasa. Kita pun merasa pantas untuk menuntut semua tempat makan minum agar menutup aktifitasnya di siang hari. Kita pun menyanjung kepala daerah yang memberlakukan pembatasan aktifitas tempat makan di siang hari selama bulan Ramadhan. Lalu kita memberikannya julukan kepala daerah yang nyantri, agamis dan islamis. Bisa jadi keinginan mendapatkan predikat inilah yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijaksanaan pembatasan itu. Atau bisa jadi karena kekeliruan dalam memahami puasa yang sesungguhnya.
Kita tidak pernah berpikir bahwa selain mereka yang Non Muslim, ada saudara-saudara kita yang tidak berpuasa karena sesuatu udzur yang diperkenankan fiqih. Mereka semua butuh makan, juga tempat makan yang buka di siang hari. Banyak yang akan mengalami kesulitan ketika di siang hari semua tempat makan tutup. Menghindarkan orang lain dari kesulitan adalah kewajiban dari yang berpuasa, sebaliknya menjadi berdosa ketika menghalangi orang lain memenuhi kebutuhannya. Yang ada di dalam pikiran kita hanyalah, mereka yang tidak berpuasa harus menghormati kita, TITIK. Inilah ironi pertama dalam puasa wajib di bulan Ramadhan. Di saat puasa butuh menghormati orang lain, kita malah sebaliknya menuntut dihormati.
Sekarang mari kita lihat sahur dan buka. Meski umumnya makan sahur itu tidak terlalu bisa dinikmati layaknya sarapan, makan siang atau makan malam, tetap saja menu makan sahur menjadi salah satu topik perbincangan di bulan Ramadhan. Dan pagi hari kemudian akan banyak tersisa makanan sahur yang sebagian besar diantaranya akan terbuang menjadi sampah. Maka bulan Ramadhan menjadi bulan dimana terjadi peningkatan volume sampah domestik secara signifikan. Jadi tidak heran kalau kemudian Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan produksi sampah domestik tertinggi di dunia.
Sementara itu saat berbuka menjadi momen spesial saat menjalanlan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Ia tidak sekedar waktu berakhirnya lapar dan dahaga, tapi ia juga menjadi nomen kebersamaan bagi sebuah keluarga atau sebuah komunitas. Dalam konteks inilah, maka selama bulan Ramadhan marak aktifitas berkumpul dengan tajuk "buka bersama". Dalam suasana pandemi covid-19 seperti sekarang ini banyak yang tetap menginginkan acara buka bersama meski terpaksa harus dilakukan secara virtual.