Kartika Kariono
Kartika Kariono Pengacara

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Bau Uang Baru Identik Bau Kemenangan

11 Juni 2018   20:06 Diperbarui: 11 Juni 2018   20:19 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bau Uang Baru Identik Bau Kemenangan
Salah satu model amplop lebaran/id.ruidea.org

Dalam kehidupan pribadi saya, saya baru mengenal ang pao di hari raya idul fitri. Karena di kampung kami, merayakan lebaran dengan berbagi uang adalah budaya sin cia. Kami dipahamkan bahwa ang pao juga bermakna berbagi rezeki, bentuk kasih sayang kepada anak-anak dan kaum yang membutuhkan agar turut suka cita merayakan tahun baru.

Pun orang-orang tua zaman saya kecil jarang sekali memberikan salam tempel "itu kebiasaan cino" alasannya, he he memang sih kami sekampung pasti dapat angpao saat sin cia dari tetangga yang merayakan. Keadaan mulai berubah saat saya menjadi buruh pabrik setamat sekolah, selain THR, majikan saya sengaja memberi saya segepok pecahan uang kecil dan baru, untuk ang pao. 

"Bau uang baru itu menyenangkan, karena sama baunya dengan kemenangan,semua orang sukacita dikasih uang, termasuk anak kecil"ucapnya sambil menyerahkan kepada saya. Jadilah saya pun berbagi dengan kemekanan dan anak-anak tetangga, kerabat atau anak-anak teman.
Tetapi tidak berbungkus khusus, biasanya saya hanya membawa tas kecil dan memberinya begitu saja.

Ya... hitung-hitung berbagi rezeki, karena memang tanpa beban saya saat itu, meski saya merasa hanya jadi penyalur saat itu. Tetapi mulai bergeser sejak saya menikah, keluarga besar dari pihak suami membiasakan membagi uang kepada anak-anak kecil bahkan berbungkus amplop khusus. Suami pun berbagi dengan kemenakan-kemenakan dari pihak saya secara adil dan merata. Berapapun umurnya dibagi dalam jumlah yang sama. Berbeda dengan saya yang memilih membedakan nominal, karena kebutuhan yang anak yang besar tentu berbeda dengan yang kecil.

Kadang seringkali salam tempel jadi sogokan penebusan rasa bersalah buat kemenakan-kemebakan saya, yang sejak saya punya anak sendiri seringkali untuk mengobrol dengan mereka saja seolah tidak sempat. Saya tidak punya budget khusus, apalagi saya memang punya pekerjaan yang penghasilannya sangat pas-pasan.

Walhasil, saya seringkali hanya menjadi penyalur rezeki saja. Pas saya tidak ada uang yang dibudgetkan untuk salam tempel pas ada yang memberi saya rezeki untuk dibagi-bagi. Maha baik memang seringkali memberi saya rezeki pas-pasan, doakan terus ini berlangsung misal pas saya ingin ke tanah suci pas ada rezekinya, pas saya ingin punya ini pas juga ada yang memberi. ... ucapkan Aamiin (eh...itu termasuk doa yang meneror Tuhan bukan?kalau bukan, bantu ucapkan aamin..aamiin).

Saya yang terlahir sebagai generasi bingung, tidak pro dan tidak kontra mengenai salam tempel. Pas ada rezekinya ya dibagi salam tempel untuk anak-anak. Jika tidak ada ya tidak usah dipaksakan. Banyak nilai lebih yang didapat dengan salam tempel.

Salah satunya menjadi ajang mengajarkan anak untuk jaga sikap, tetap rendah hati menerima jika diberi tetapi tidak menjadi merendahkan diri untuk mengharap pemberian. Pun sebagai pemberi, salam tempel menjadi media membuka komunikasi dengan anak-anak. Karena terkadang kita lupa untuk mengajak ngobrol anak-anak bukan?. Karena biasanya sambil memberi salam tempel juga kita tegur setidaknya bertanya soal berapa hari ia batal puasa sampai prestasinya baik di sekolah ataupun ekstra kurikulernya di luar sekolah.

Salam tempel juga mengajarkan anak mengenai perilaku pengaturan uang. Karena godaan toko mainan atau penjual mainan keliling memang sangat menggiurkan, sehingga seringkali uang yang didapat dengan keliling kampunh itu habis seketika. Bau uang baru menyenangkan, easy come easy go jika tidak pandai mengaturnya. Ada juga anak yang berusaha hemat, pengen nabung dengan cara dititipkan ke orang tuanya. Tetapi seringkali lupa masuk kantong orang tua, nah yang ini berat karena artinya kita tanpa sengaja mengajarkan soal tidak amanah dan penggelapan.

Jadi, soal salam tempel kembali kepada niatnya masing-masing, baik pemberi dan penerima. Sebagai lambang suka cita bisa, bahkan menjadi ajang adu kesombongan juga  bisa, memicu jiwa pengemis, perilaku konsumtif atau yang lainnya pun bisa. Tetapi terlepas dari semua itu senyuman lebar anak kecil dengan berjuta rencana pada anggaran di benaknya saat menggenggam hasil salam tempel dengan silaturahim keliling kampung bukankah memori berharga buat ia dan kita bukan?

Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun