Menulis untuk menjaga kewarasan - Menulis untuk melatih otak - Menulis untuk hidup
Siapa Ompungmu?
Beberapa bulan lalu, sebagain keluarga besar Saragih Garingging (klan Manak Raya) berkumpul merayakan tahun baru di Balei Bolon Nasara, Bogor. Selain beribadah, mandoding (bernyanyi), kami biasanya membicarakan silsilah.
Kalau bicara silsilah yang panjang hingga beberapa keturunan, maka pertanyaan paling sering dilemparkan adalah; "Siapa ompungmu"?
Antara tahun 1395-1435, hiduplah ompung kami yang bernama Sipinangsori. Dia anak rantau yang kemudian menikahi putri raja di tempatnya yang baru. Lalu dia mendirikan Kerajaan Raya di Simalungun, di Sumatera Utara. Dia adalah cikal bakal Saragih Garingging. Singkatnya begitu.
Dari data yang kami punya, saya adalah keturunan ke-18 Saragih Garingging. Nah, biar seru, empat generasi di atas saya ada lima bersaudara. Ompung saya anak ketiga, sedangkan anak kedua adalah ompungnya Prof. Dr. Bungaran Saragih yang mantan menteri itu. Secara silsilah kami sepupuan (sanina). Dia abang saya.
Saya tak mau membahas keturunan demi keturunan Saragih Garingging serta konflik di antara para leluruh yang konon cukup seru. Tapi dengan data ini saya menyadari betapa kecilnya diri ini, bahkan dalam silsilah keluarga sendiri. Apalagi umat manusia.
Membayangkan diri kita hanya bagian kecil dari seluruh kehidupan penting untuk kesehatan mental dan kebahagian. Tidak usah sampai membayangkan hingga 620 tahun lalu ketika ompung kami tercatat memulai keturunannya. Bayangkan, 150 tahun ke depan. Semua yang hidup saat ini sudah meninggal. Dalam 200 tahun, kita semua sudah berstatus nenek moyang. Kemungkinan besar tidak ada orang hidup mengenal kita.
Kurang-kurangilah menganggap diri hebat. Jangan merasa diri sebagai pusat dunia, seolah-olah dunia ini berhenti berputar kalau Anda kesal atau marah. Padahal tidak ada yang peduli. Kita hanya remah-remah.