Surau: Tempat Kembali dan Terlahirnya Orang-orang Hebat
Ada yang bilang, "Biarkan orang-orang masjid saja yang menguasai di bidang itu." Sebentar, taukah kalian siapa yang akan membisikan telinga kanan dan kiri ketika bayi baru lahir. Apa ibunya? Tidak, pasti ayahnya. Begitulah peran mendasar seorang laki-laki terhadap tanggung jawabnya. Untuk itu, biasakan hal tersebut dari dini.
Khotib Jum'at
Di masjid ini aku dilatih berani. Berani itu berkhotbah jum'at, berani menebarkan ilmu yang ada, dan berani untuk mewarnai masyarakat. Karena saat itu, waktunya muda beraksi, dan muda berkreasi. Kita milenial, kita tetap muslim.
Banyak anak muda di zaman generasi-Z ini gengsi menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim. Gengsi melakukan hal-hal berbau keislaman, lantaran pengaruh tranding zaman sekarang. Boleh tranding, tetapi identitasmu adalah muslim.
Ingat kala itu, saat pertama kaki ini berdiri untuk berkhotbah jum'at pertama di masjid Jami'. Masih terbata-bata, masih gugup tidak karuan, bahkan kaki pun bergemetar ketakutan.
Berjalannya waktu, pendidikan pembiasaan dari masjid al-Jami' ini membuatku terlatih berani, terlatih tegap atas ketakukan, dan tidak takut menyatakan kebenaran serta kebaikan di atas mimbar.
Mengajar TPA
"Ustadz.. Ustadz.. aku ngaji dari awal lagi ya, di iqra satu, boleh kan?" begitu kiranya celotehan anak TPA memanggilku. Aku tidak menyatakan diri ini layaknya seorang ustadz, hanya sebatas guru ngaji di kampung.
Lantas, apa poin yang akan aku uraikan dari mereka. Lamat-lamat setiap kali aku mengajarkan huruf demi huruf kepada mereka. Sesekali, aku tatap mata anak-anak ini. Terlihat, ada sebuah harapan besar bagi mereka untuk belajar dari huruf satu ke huruf lainnya. Ada banyak sekali harapan dipancarkan dari anak sederhana yang hanya sebatas di kampung.
Bahkan sampai detik ini, aku sudah membiasakan kepada anak didik ini, anak-anak TPA, dengan selalu mengusap ubun-ubun mereka dan berdoa, "Di tanganmu insyaAllah masa depan cerah menunggu. Kalian boleh tinggal di kampung, tetapi hati dan jiwa kalian bisa lebih besar dari pada anak-anak yang tinggal di kota."
Ternyata, aku baru menyadari saat dewasa ini, kehebatan seorang anak bukan sebatas karena kepintaran otaknya saja. Tetapi, ada peran orang tua, guru ngaji, guru di pesantren, dan para kyai, yang ikut mendoakan hal serupa, mungkin dengan diksi yang berbeda.