Puasa Media Sosial di Mata Saya
Jujur saja, semula saya tidak berpikir serius tentang puasa media sosial. Dahulu saya kira istilah tersebut cuma dipakai secara bercandaan oleh orang-orang yang merasa kecanduan main medsos. Sebab terlalu asyik bergaul di dunia maya, sampai-sampai pekerjaan mereka di dunia nyata terbengkelai.
Namun, lambat-laun saya mengetahui bahwa istilah puasa media sosial ternyata tak sebercanda itu. Sungguh tak saya sangka bahwa istilah tersebut mengandung persoalan serius terkait kesehatan mental.
Saya sama sekali tak menyangka kalau banyak orang yang diam-diam terintimidasi oleh postingan-postingan di medsos. Mendadak jadi kurang percaya diri dengan pencapaian mereka, setelah melihat-lihat deretan postingan yang berisi aneka kesuksesan orang-orang lain.
Wah, wah, wah. Jangankan postingan tentang kesuksesan. Rupanya bahkan ada orang-orang yang beranjak putus asa, hanya gara-gara melihat postingan seseorang yang selalu bernuansa riang gembira. Mereka pikir orang yang hobi haha hihi di medsos tak pernah mengalami kesusahan hidup.
Nah. Karena semula menganggap puasa media sosial sekadar bercandaan, saya pun sempat berkomentar begini, "Salah sendiri dikit-dikit buka medsos sampai lupa waktu. Wajar kalau kerjaan jadi berantakan. Mestinya 'kan main medsos secukupnya saja. Enggak perlulah sampai puasa media massa segala."
Komentar saya kian sadis manakala mengetahui ada orang-orang yang cara berpikirnya "terlalu polos" sehubungan dengan postingan-postingan di medsos. Misalnya begini. Suatu ketika saya mengunggah foto makanan dan minuman di sebuah resto. Eh, kok serta-merta saya dianggap kaya raya? Sementara postingan itu merupakan postingan endorse-an.
Lihatlah. Kalau kejadiannya seperti itu, salah sendiri 'kan jika banyak orang OVT alias overthinking gara-gara dimakan imajinasi mereka sendiri? Ya wajarlah kalau ujungnya mengganggu kesehatan mental.
Syukurlah pada akhirnya saya bisa memahami bahwa kondisi mental orang berbeda-beda. Saya tak lagi menertawakan mereka yang sampai harus menjalani puasa media sosial. Ketimbang jahil menertawakan orang, bukankah lebih baik saya fokus bersyukur sebab diberi-Nya kekuatan untuk tidak perlu menjalani puasa media sosial. Iya 'kan?
Salam.