KOMENTAR
TRADISI Pilihan

Hari Raya dan Sebuah Siklus Paradoks

3 Mei 2022   12:30 Diperbarui: 3 Mei 2022   12:43 848 6

Setelah vakum selama dua tahun terakhir, suasana mudik lebaran akhirnya kembali hadir. Bukan hanya dari sisi menyenangkan, tapi juga sisi membingungkannya.

Untuk sisi menyenangkan, semua tentu sudah tahu, dan bisa jadi sepakat. Ada THR, menikmati hidangan lebaran, dan suasana kebersamaan yang kental.

Semua itu bahkan menyatu dengan sangat cair, meski dalam satu keluarga besar, kadang ada yang berbeda keyakinan. Satu hal yang biasa membuat momen hari raya keagamaan (khususnya di Indonesia) selalu spesial.

Di luar mereka yang berpemikiran cenderung ekstrim, saling memberi ucapan selamat saat hari raya datang sebenarnya sudah jadi tradisi sejak dulu. Bahkan, ada juga yang saling mengirim hadiah, misalnya lontong opor saat Lebaran, angpao saat Imlek, dan kue saat Natal.

Semua terasa cair, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Keren kan?

Tapi, hari raya kadang menampilkan sebuah paradoks yang cukup membingungkan, khususnya jika dalam satu keluarga besar, ternyata ada persaingan terselubung.

Sebagai contoh, kebersamaan dalam hari raya kadang jadi satu arena unjuk gigi sebuah keluarga. Dari pakaian baru, prestasi pribadi sampai anak cucu, semua dipamerkan sampai tuntas, bahkan kadang dijadikan amunisi untuk "menembak" dengan sekuel pertanyaan "kapan" yang tersohor itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Laporkan Konten
Laporkan Akun