Sabtu, Hening, dan Bening
Sabtu untuk sebuah hening dan bening. Di antara keduanya aku melipat ingatan. Persis di belakang kamu yang jauh dari rukun keluarga sakinah. Sumpah, ini mungkin kedengaran gak penting. Tapi, itulah. Hening dan bening adalah Sabtu yang kukliping menjadi satu.
Jika Sabtu tak pernah hadir dalam ritme harian kita, aku mungkin tak banyak menaruh perhatian pada Sabtu. Apalagi sekadar mengemasnya dalam tulis. Itu setahuku. Itu seingatku. Jangan tanyakan lebih jauh kenapa demikian, karena tabu bagiku menanyakan Sabtu. Lekas di sela ingatanku, Sabtu jarang diekspos oleh kita. Kenapa? Karena memang Sabtu terlahir untuk dinikmati. Sabtu terlahir untuk sekadar dipacu bersama riak tawa yang tak pernah diraba ingatan mendalam dan membekas. Semua orang pada sibuk di hari Sabtu. Bahkan, ada yang lupa kalau Sabtu pernah dijelajah sehari penuh.
Aku lebih dulu bicara soal hening yang akrab disapa Sabtu. Ya, memang Sabtu, ketika konon seorang gadis sederhana bernama Maria asal Nazareth itu pernah dihimpit. Perempuan itu lantas menepi dan menyediri di sekujur Sabtu. Ia tak banyak berbicara. Ia suka memendam. Ia suka menyimpan. Ia menariknya ke dalam -- ke sanubari, ke hati, juga ke tempat penyimpanan ingatan yang sukar dijelajah sapa. Maria tak tersentuh kata-kata. Ia diam sejauh Sabtu dinikmati oleh sekian banyak penduduk kota itu kala itu.
Jika Maria hanya diam ketika Sabtu tiba, aku sebaliknya mengabadikan Sabtu agar dekat dengan ingatan. Aku meraih sekuel peristiwa, selanjutnya kuuntai hingga membentuk sebuah karya. Karya ini hampir tak disukai kebanyakan orang karena memang sangat hening. Bawaannya hanya dering sebentar, lalu pergi. Ketika semua orang ramai-ramai ke puncak untuk menikmati hening di hari Sabtu, aku justru menggotong hening agar bermakna di kala Sabtu tiba. Cukup sulit sebetulnya melepas Sabtu tanpa teriak, tawa, kekeh, juga saling ejek.
Menepi dan nyepi di hari Sabtu itu sebetulnya menarik. Jika kalian cenderung diam di sekujur Sabtu, itu artinya ada sesuatu. Memasung komunikasi di kala Sabtu tiba, itu artinya Sabtu cukup lebar diharapkan hanya sekadar jadi Sabtu. Di balik Sabtu hening, ada makna yang dipadu menyerupai bening.
Sabtu tak sekadar menyediakan hening. Ia lantas menyentuh sesuatu yang bening. Jika sudah memperlihatkan hening, pasti Sabtu lebih cerah untuk ditatap, dijalani, juga diberi makna. Bening itu tanda Sabtu tak mau hadir seperti hari-hari sebelumnya. Bening juga menjadi tanda bahwa Sabtu tak mudah untuk dibiarkan pergi. Ketika Sabtu menyentuh senja, bening tetap terlihat. Lebih indah dan menyenangkan jika senja itu diseruput kala Sabtu tiba. Persis di sini beningnya Sabtu cukup lebar dan dalam tuk dinikmati. Itulah Sabtu, hening dan bening.
Aku sebenarnya ingin meneruskan bingkisan di hari Sabtu ini agar tetap hening dan kelihatan bening. Tapi itu tak mudah. Aku dipaksa berhenti di sela-sela Sabtu tak lagi hening. Di kala senja hampir tak mampu dibilang menarik dan indah, Sabtu sekejab berubah riuh. Lalu lalang kendaraan meliuk-meliuk Sabtu. Semua dengan pasangannya masing-masing. Duduk, ngopi, rokok, tawa, lalu lupa Sabtu. Persis di sinilah Sabtu hanya bertahan hanya sekadar menyerupai satu hitungan hari dalam deretan Minggu. Saran saya, sebaiknya Sabtu diberi latar: separuh hening untuk bening.