Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com
Sudahkah Kita Mampu Mensyukuri Makanan dan Memaknai Rasa Lapar?
Ada berbagai kebaikan dalam setiap makanan yang kita santap.
Pertama, kebaikan dari petani yang menanam tanaman pangan, peternak yang merawat hewan ternak sehingga dagingnya dan hasil lain selain daging dari hewan tersebut yang dapat dikonsumsi atau nelayan yang harus menerjang gelap dan dinginnya malam di tengah laut untuk mencari ikan.
Kedua, kebaikan para pedagang, terutama pedagang kecil yang menjual bahan-bahan pangan.
Ketiga, kebaikan orang yang mengolah atau memasak makanan yang kita makan. Dia bisa ibu kita, pasangan, tukang masak entah yang di lapak-lapak kaki lima, angkringan sampai restoran bintang lima.
Keempat, orang yang menghidangkan atau menyajikan makanan itu di piring dan meja makan. Kalau kita makan di luar, maka yang dimaksud adalah pelayan.
Jika di rumah, itu bisa berarti ibu kita, istri bagi laki-laki yang telah berkeluarga atau mungkin asisten rumah tangga.
Bagi yang pernah atau sering memesan makanan secara daring lewat aplikasi, kalau bukan karena jasa abang ojol yang rela mengantre, berpanas-panas dan bermacet-macet ria di jalan, makanan itu mungkin tidak akan sampai pada kita.
Yang tidak kalah penting tentu saja kebaikan Tuhan yang telah menyediakan alam serta kekayaan hayati dan hewani yang bisa kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan.
Dapur, memasak dan perempuan sudah seperti satu kesatuan yang sulit dipisahkan, meski pandangan kesetaraan gender telah membuka mata dan pikiran kita bahwa urusan dapur tidak berjenis kelamin.
Saking dekatnya dapur dan memasak dengan dunia perempuan, masuk akal sekali jika ketika masih kecil dulu, ibu akan memarahi kita apabila tidak menghabiskan makanan.