Kontekstualisasi Sedekah di Bulan Ramadan (Kajian Hermeneutika)
Bulan Ramadan menjadi salah satu bulan paling dinanti oleh umat islam di seluruh dunia, tak terkecuali umat muslim yang berada di Yogyakarta. bulan suci yang penuh keberkahan ini hanya datang satu kali dalam setahun. Tentunya momen ini tidaklah mungkin dilewatkan begitu saja bagi umat muslim yang merayakan. Ada banyak sekali cara yang biasa dilakukan di bulan suci tersebut, mulai dari tarawih berjemaah di masjid, mengaji Alquran, dan bersedekah dengan berbagi makanan buat buka puasa (takjil).
Salah satu hal yang menarik untuk ditelisik atau dikaji lebih dalam mengenai kegiatan di atas, yakni terkait berbagi takjil. Perlu dipahami bahwasanya berbagi takjil merupakan istilah yang dapat digolongkan sebagai bentuk sedekah. Menurut istilah "takjil" berawal dari bahasa arab yakni 'ajila yang memiliki arti "menyegerakan", dalam konteks ini berarti menyegerakan berbuka puasa.
Tetapi istilah takjil yang berkembang luas di masyarakat memiliki arti makanan atau hidangan berbuka puasa. Tentunya jika coba dikaitkan pada konteks kali ini memiliki arti "berbagi makanan untuk berbuka puasa", yang diawali dari kata berbagi dan sangat identik dengan bersedekah. Sedangkan istilah "sedekah" berawal dari bahasa Arab yakni Shodaqotun yang berarti "kebenaran", secara luas sedekah dipahami sebagai pemberian harta baik berupa barang atau apapun oleh seorang muslim kepada orang lain yang berhak untuk menerimanya.
Fenomena sedekah takjil yang dilakukan di bulan Ramadan oleh berbagai masjid-masjid yang berada di Yogyakarta cukup menyita perhatian banyak kalangan. Orang berbondong-bondong meniru kegiatan positif tersebut, seakan berlomba-lomba untuk menyediakan takjil terbaiknya. Seperti contoh sedekah yang diadakan oleh masjid Prayan Raya Condongcatur, setiap harinya selama bulan Ramadan kurang lebih 250-an porsi makan dibagikan menjelang berbuka yang dibarengi dengan kajian dulu. Ada pun menu berbuka yang penulis temui sangatlah bervariatif mulai dari ayam goreng, ayam bakar, ikan goreng dan sebagainya.
Ada pun kebermanfaatan sosial yang penulis coba telisik sangatlah banyak, penulis meyakini banyak sekali anak kos yang merasa senang hati dengan adanya kegiatan tersebut. Ibarat kata perumpamaan menyelam sambil minum air, orang-orang dapat menikmati pemberian orang lain (takjil) sambil menimba ilmu keagamaan dalam setiap kajian yang disampaikan menjelang berbuka puasa.
Momentum seperti ini tentunya sangat dimanfaatkan para perantau yang kebanyakan merupakan mahasiswa, beragam cara dilakukannya agar dapat mendapatkan takjil. Penulis menyebut mereka dengan sebutan takjilers. Fenomena sosial seperti ini kiranya cukup mencerminkan implementasi dari Alquran surat an-Nisa ayat 36 yang mengandung teori sosial Hablumminannas yang berarti hubungan antara manusia dengan manusia.
Penulis kira sedekah takjil merupakan salah satu cara dalam mengimplementasikan ayat tersebut, karena banyak sekali kebermanfaatan positif yang didapat dilihat, seperti meringankan pengeluaran para Takjilers untuk makan, kemudian dapat menyambung tali silaturrahmi antar sesama umat Islam, dan bahkan mungkin mendapat relasi dari kebersamaan yang terjalin ketika berburu takjil.