Mahir Martin
Mahir Martin Guru

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Menyambut Ramadan Ala Kolumnis

3 April 2022   14:03 Diperbarui: 3 April 2022   14:08 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyambut Ramadan Ala Kolumnis
Menyambut ramadhan | Dokumentasi pribadi

Tahun ini dua ormas besar Islam memutuskan awal Ramadan berbeda. Dalam kondisi ini, muncul candaan-candaan klasik. 

Misalnya, ada yang berseloroh ingin mulai puasa ikut yang lebih akhir, tapi lebaran ikut yang lebih awal. Ada juga yang lebih diplomatis, mengatakan tak ada perbedaan awal puasa, semua sama-sama mulai tanggal 1 Ramadan.

Candaan yang terkahir ini sejatinya patut kita renungi. Kita patut bersyukur bahwa tidak ada yang memperdebatkan puasa dimulai tanggal 1 Ramadan. Jika itu pun diperdebatkan akan semakin banyak ruang perbebadatan yang mungkin akan terjadi.

Ada argumen menarik terkait awal Ramadan ini. Tak main-main argumen ini datang dari salah satu jurnalis senior yang juga mantan menteri. Argumen ini dimuat di kolom media online miliknya.

Menurutnya penetapan awal Ramadan itu seharusnya diserahkan ke daerah, seperti halnya penentuan waktu shalat. Kita berbuka puasa pastinya mengikuti waktu azan daerah kita masing-masing bukan? Tidak mungkin jika kita tinggal di Banjar, tetapi buka puasa mengikuti waktu Jakarta.

Dalam argumennya, ia menyoroti wilayah Indonesia yang begitu luas. Dari ujung barat ke ujung timur perbedaan waktunya sekitar tiga jam. Jadi, jika penentuan awal Ramadan ditentukan berdasar pengamatan astronomi munculnya atau terlihatnya hilal, maka setiap daerah semestinya akan berbeda-beda.

Selain itu ada beberapa tokoh yang menyoroti isu sosial budaya, dan ekonomi. Mereka menyoroti kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok dan BBM menjelang datangnya bulan Ramadan.

Salah satunya datang dari tokoh politik nasional, yang sekarang menjabat sebagai pimpinan salah satu lembaga negara. Dalam kolomnya, ia mengatakan bahwa kita perlu bersyukur dengan adanya pelonggaran izin beribadah jemaah selama Ramadan. 

Selain itu, menurutnya kita perlu bersabar dalam menyikapi kenaikan barang kebutuhan pokok dan BBM. Bukankah puasa mengajarkan puasa dan bersabar?

Sudut pandang lain datang dari seorang penulis terkenal yang telah menelurkan beberapa novel best seller. Menurutnya, semangat kasih sayang dan kepedulian harus tetap dikedepankan. Apalagi ditengah riuhnya berbagai peristiwa ekonomi dan politik menjelang Ramadan. 

Tak bisa dipungkiri masih banyak masyarakat yang terkena dampak finansial pandemi. Mereka sangat membutuhkan pertolongan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun