Momen Ngabuburit yang Abadi: Mukena dan Kematian di Momen Ngabuburit
Fayyadh menjerit dan menangis. Ia merasa bersalah, tapi juga berterima kasih. Meskipun Nenek Nafsiah tak sempat memakai mukena barunya, Fayyadh tahu bahwa cintanya telah sampai pada nenek tercinta. Dan di bawah pohon besar itu tempat favorit nenek dan kakek ngabuburit, di hari ke 17 Ramadan, Fayyadh berdoa agar Nenek Nafsiah bahagia di surga, bersama kakek.
Kini, Di sudut kamarku, terbungkus dalam kain putih, Mukena itu menanti, penuh harap dan cinta. Nenek, engkau yang mengajari aku baca Alquran, Dengan suaramu yang lembut, mengalun seperti senja. Kini, aku ingin mellihat nenek mengenakan mukena yang layak ini, agar kau merasa lebih dekat pada-Nya
Namun takdir berkata lain, Nenek. Sebelum kau sempat memakainya, kau pergi. Mukena itu kini terbuka, di atas meja kayu tua. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Nenek, kau pasti tersenyum di surga, Melihat cucumu yang menangis karena rindu.Mukena kado untuk Nenek, Ia tak pernah menyentuh kulitmu yang keriput. Namun ia menyimpan cerita tentang cinta dan kehilangan, Di antara benang-benang putih yang rapuh
"Nenek, semoga kau bahagia di sana, Bersama kakek, Mukena ini akan tetap ada, sebagai kenangan, Untukmu, Nenek tercinta"