Ramadanku Yang (Tak) Lebih Baik
"Bagaimana kabar Ramadanmu kali ini?"
Tiba-tiba suara itu muncul saat ku tengah menanti tibanya waktu Dhuhur. Sejenak aku terdiam, lalu kujawab, "Aku berniat untuk menjadikannya lebih baik dari tahun lalu."
Beberapa detik hening, lalu muncul lagi suara itu."Benarkah kau sudah melakukannya? Memperbaiki niatmu untuk menjadikanmu pribadi yang lebih berbakti pada Tuhanmu?"
"Insyaallah",jawabku singkat.
"Namun mengapa aku masih belum bisa melihat kesungguhan niatmu? Tak ada perubahan berarti dari apa yang kau lakukan dalam beberapa hari ini dengan apa yang terjadi tahun lalu?",sergah suara itu tanda menafikkan apa yang kukatakan beberapa detik sebelumnya.
Belum sempat ku berkata, dia menyambung kalimatnya yang terjeda,"Niatmu tak cukup besar untuk mengalahkan kepentingan duniawimu, tak cukup pula untuk menggerakkanmu untuk meninggikan derajat pengabdianmu pada Rabb-mu, karena kau masih menjadikan dunia menjadi penyanderamu."
"Maksudmu?",kupotong perkataannya untuk menyatakan keingintahuanku.
"Kau masih membanggakan dirimu saat melihat orang lain yang kau nilai tak serajin dirimu dalam ibadah. Kau pun masih menyia-nyiakan waktumu bahkan kau gunakan untuk menggunjing, membicarakan yang tak perlu, mengeluh dan perkataan sia-sia lainnya. Kau masih berlebihan dalam memenuhi syahwat perutmu, kau pun tak berusaha menggapai setiap kebaikan yang ditawarkan oleh banyak pintu tempat peribadatan yang mengisi malam dengan berbagai amal saleh, kau pun masih jarang berbagi dengan sesama yang membutuhkan uluran tangan orang lain. Kau pun masih menganggap kebaikan yang kau lakukan akan dapat menebus kenikmatan ukhrawi yang kau dambakan. Dan aku melihat hal itu semua di Ramadanmu yang lampau", suara itu lugas membeberkan semua hal yang ternyata benar adanya.
Sejenak kupejamkan mataku. Lalu terbayang semuanya di pelupukku.
Aku yang selalu berusaha menjadikan pekerjaan sebagai media untuk mendapatkan ridha-Nya, pada kenyataannya adalah media untuk mendapatkan ridha atasanku. Aku yang selalu merasa mengagungkan sang Rabb, ternyata justru lebih mengagungkan undangan rapat kantor yang menerjang waktu shalat.
Aku masih menganggap semua kenikmatan yang dikucurkan-Nya sebagai sebuah kewajaran, sehingga kurang rasa syukurku pada Tuhan yang hanya kusebut namanya saat kubutuhkan.