Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."
Kliwon, Episode THR Tak Pernah Cukup
"Ah, Kang Kliwon nggak usah dipikirkan, Pak," ujar Dzul.
Menurut Kliwon, manusia itu memang sedikit sekali untuk bisa bersyukur. Ada saja alasan yang bisa dibuat agar rasa syukur untuk tak layak untuk diucapkan. Contohnya, ya, Pak Sutar itu. Coba bayangkan kalau saja pemerintah tidak memiliki kebaikan memberikan THR, persoalannya kan akan semakin bertambah rumit. Kalau soal THR sudah terpotong-potong habis, tak berarti itu menjadi alasan untuk mengeluh dan menjadi tak memiliki rasa syukur.
"Persolannya bukan seperti itu, Kang," kata Dzul tak setuju dengan pandangan Kliwon. Menurut Dzul,. THR itu bukan semata-mata mengenai tambahan dana 1 X gaji, tapi soal bagaimana kebutuhan sosial selama hari raya mesti terpenuhi. Orang-orang seperti Kliwon dan Dzul tidak perlu gelisah kalau di rumahnya tak ada banyak toples berisi kue-kue dan sirup warna range. Sebab yang berkunjung lebaran juga tak ada. Kliwon malah sering memilih keliling-keliling sampai tujuh hari lebaran, sehingga ia tak perlu sibuk menyiapkan kue lebaran.
Tapi orang-orang berkelas seperti Pak Sutar mana mungkin membiarkan empat meja di ruang tamunya tak ada toples di atas, tak ada kue kering dan kue basa di piring-piring oval. Belum lagi minuman-minuman instan yang disenangi anak-anak.
Kalau gorden jendela depan tak juga ganti, bagi Pak Sutar tentu juga akan menjadi masalah, juga taplak meja, dan beberapa hiasan dinding yang juga harus diganti, pengecatan tembok dan mengganti karpet lantai yang menurut istrina, sudah kusam dan tak layak lagi digunakan.
"THR nggak ada artinya," kata Kliwon.
"Begitu...," kata Dzul.
"Saya kira iya," kata Sutar.***