Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."
Kliwon, Episode Berlama-lama di WC
Bulan puasa sudah melampaui setengah perjalanan. Kliwon selama ini anteng-anteng saja setiap malamnya. Tetapi semalam Kliwon ungrsek saja di depan. Rupanya Kliwon sedang memberi isyarat kepada istrinya untuk menjalin rasa batin yang lebih mendalam. Legi menolak, sebab khawatir mengganggu kekhusyukan menjalani ibadah puasa.
"Halal, Mbok," kata Kliwon.
Rupanya, Legi tetap menolak. Sebulan saja istirahat tak memadu kasih di atas depan, kan juga tidak akan mengakibatkan penderitaan sepanjang hayat.
"Hanya istirahat," kata Legi.
Kliwon malah sekarang ambil posisi duduk di pinggir depan, sementara Legi melengkungkan tubuh membelakanginya. Menurut Kliwon, ini bukan soal istirahat, tetapi mengenai hasrat yang tiba-tiba membuncak. Ia mulai membangun strategi komunikasi yang tadi sudah dirasakannya macet, umpama jalan-jalan utama di Pantura, yang sudah mulai tersendat, atau bahkan berhenti total.
"Kata Pak Kiai, dulu...," kata Kliwon. Sebenarnya ini bukan membuka dialog, melainkan mencoba mengintimidasi istrinya menggunakan sandaran kiainya zaman di pesantren dulu. Mencoba membuat Legi menjadi khawatir manakala tak hendak memenuhi kehendak Kliwon di malam hari itu. Entah Legi tak peduli dengan tanda-tanda intimidasi itu atau malah ia sudah tertidur pulas, yang pasti tak ada respons apa-apa darinya.
"Di malam bulan puasa suami istri tetap saja boleh menjalin kasih yang mendalam. Sejak mulai azan Maghrib sampai datangnya imsak," kata Kliwon.
"Malam ramadan sama saja dengan malam-malam yang lain, tak akan mengganggu ibadah puasa apalagi sampai membatalkan puasa.
Masih tak ada jawaban, juga tak ada tanda-tanda manusia terjaga dari tidur. Kliwon penasaran, ia khawatir Legi sudah tidur lelap. Ketika ia menengok, istrinya justru sudah tak ada lagi di tempat tidur. "Ke mana perempuan satu ini," katanya dalam hati.
Kini Kliwon yang mulai khawatir, takut tentang waktu imsak yang mungkin segera datang, sementara istrinya yang ditunggu justru tak datang-datang. Ia beranjak meninggalkan dipan dan menerka di mana Legi berada. Tebakannya benar, Legi sedang menghangatkan sayur untuk sahur anak-anak. Melihat istrinya dari belakang, Kliwon merasa nanar. Tubuhnya bergetar, dan ketika ia hendak mengulurkan tangan memeluk istrinya dari belakang, suara Wage terdengar dari meja makan, "Mbok, cepat segera imsak."
Kliwon terasa tibva-tiba merasa lemas dan putus asa. Harapannya sudah tak mungkin bisa dipenuhi malam ini. Rembugannya di atas ranjang gagal sama sekali, bahkan sedikit pun tak memengaruhi pendirian Legi.