Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."
Kliwon, Episode Mbabar Jati Diri (Tamat)
"Mimpi kali, ya,' kata seorang warga yang duduk di atas sandal jepitnya. Celanya komprang sehingga ujung celananya melembreh ke bawah. Dan beberapa perempuan yang kebetulan memandang ke arah laki-laki itu akan segera melengos, membuang muka secepat-cepatnya dengan mimik malu yang tersimpan dalam katupan bibirnya.
"Mimpi bagaimana. Kita saja yang nggak bisa melihat mutiara dalam kampung kita," kata teman yang duduk di sebelah laki-laki itu.
Abdurrahman tampak duduk. Kini seorang laki-laki yang masih lebih muda ketimbang Kliwon, berdiri menggantikan posisi Abdurrahman. Para warga berdecak-decak tak jelas arah. Laki-lakii itu mirip benar dengan Kliwon. Bedanya, Kliwon tak memelihara jambang, sedangkan yang berdiri di depan, jambang, kumis dan jenggot saling menyambung.
"Kita akan berpamitan, Gus Rim, panggilan kami ke Mas Abdul Karim Alsyazili, yang di kampung ini ia menamakan dirinya sebagai kliwon," kata laki-laki muda.
"Agar tidak membingungkan, Gus Rim merupakan kakak tertua kami, yang segera akan memimpin pesantren yang sudah dirintis kakek buyut kami. Hanya saja, Gus Rim waktu itu meminta waktu, karena ia ingin mengalami kehidupan orang-orang miskin, kaum mustadz'afin, yang hidupnya tak dikenal masyarakat," lanjutnya.
"Setelah 30 tahun, kami akan meminta Gus Rim kembali untuk segera memimpin pesantren menggantikan abah kami yang sudah sepuh, sehingga tak perlu membebaninya dengan tugas-tugas di pesantren."
Kliwon keluar dari rumah dengan mengenakan baju seperti orang-orang yang menjemputnya. Ia begitu tampak gagah dengan wajah yang bersinar-sinar. Tidak seperti biasanya ketika pemimpin berkunjung ke desa, warga yang akan berbaris-bari untuk berjabat tangan, Kliwon alias gus Rim, meski dia pemimpin pesantren besar, ia yang mendatangi warga untuk bersalaman dan meminta maaf atas kesalahannya selama tinggal bersama di dusun Bluwangan.
Warga berdiri dengan masih menunjukkan wajah bimbang, Pandangan mereka terus mengikuti rombongan kendaraan itu sampai di tikungan jalan.***