Puasa, Kategori Amalan Kolektif
Membincangkan awal mula Ramadhan, salah satu diantara rujukan riwayatnya adalah dari Ibnu Abbas r.a., bahwa seorang Arab Badui datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia pun berkata, "Aku telah melihat hilal." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah?" Ia menjawab, "Iya." "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?", Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kembali bertanya. Ia pun menjawab, "Iya." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintah, "Suruhlah manusia wahai Bilal, agar mereka besok berpuasa.",
Riwayat itu masyhur dan mudah ditemukan, khususnya dalam pembahasan penentuan awal mula Ramadhan. Termasuk dalam konteks dinamika penentuan Ramadhan di Indonesia.
Apa makna sosiologis dari penggunaan Riwayat itu ?
Pertama, Rasulullah Muhammad Saw adalah pribadi yang menghargai pendapat orang terpercaya. Setidaknya, saat itu, riwayat yang dibawa ibnu Abbas r.a, tentang orang Badui pun, dijadikan rujukan dalam penentuan ritual Islam. Berita yang dibawa orang Badui, tentunya amanaj dan muslim, karena dia mengakui keilahiahan Allah Swt dan kenubuwwahan Muhammad bin Abdullah, maka pandangannya dipercaya dan dijadikan rujukan keputusan.
Kedua, pensaksian terhadap hilal itu, tidak mesti kolektif. Pensaksian terhadap hilal oleh satu orang pun, sepanjang dipercaya, maka dapat dijadikan sumber ketetapan hukum. Hal ini, seperti halnya yang terjadi dalam riwayat dari Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa." ( Hr. Abu Daud). Kunci dari inspirasi itu, adalah adanya kepercayaan terhadap kemampuan penglihatan (ru'yah) dari si pensaksi itu sendiri.
Ketiga, dalam batasan tertentu, dua riwayat itu seakan-akan (terkesan) Rasulullah Muhammad Saw tidak melihat langsung, melainkan sekedar mendengar informasi baik dari Orang Badui maupun dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma. Inspirasinya, bisa jadi, pimpinan (leader) baik itu dengan nama kementerian atau presiden atau khalifah atau imam atau sultan, mungkin tidak (perlu) melihat langsung, namun bisa menerima masukan dari pihak lain. Tugas Rasulullah Muhammad Saw dalam dua riwayat itu adalah mengambil keputusan.
Keempat, memang betul, dalam konteks itu, tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya sidang itsbat di zaman Rasulullah Muhammad Saw. Tetapi, psikologi sosial yang menggambarkan mengenai proses pengambilan keputusan itu, adalah embrio dari sebuah sidang itsbat. Setidaknya, ada informan, ibnu Abbas, Bilal, termasuk ramainya orang lain melakukan pengamatan, dan Rasulullah Muhammad Saw. Mekanisme itu, memberikan gambaran, pengambilan keputusan awal Ramadhan tidak bersifat individual, melainkan kolektif. Perlu digarisbawahi, amalan kolektif tidak dalam pengertian fardhu kifayah (batal kewajiban, bila sudah ada yang melaksanakan), tetapi kewajiban keagamaan yang membutuhkan keputusan formal dari pihak yang berwenang.
Kelima, hal yang menariknya, bahwa penentuan awal Ramadhan sejatinya adalah keputusan perilaku agama merujuk keputusan kolektif berdasarkan pada temuan ilmiah. Keputusannya di tetapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw (pemimpin), tetapi rujukannya adalah temuan-temuan ilmiah, yakni hasil dari pengamatan terhadap hilal (ru'yatul hilal). Dengan kata lain, amalan ramadhan adalah amalan kolektif, yang ilmiah, bukan amalan individual (personal) dogmatis. Hal itu berbeda dengan keimanan seseorang terhadap malaikat, hari akhir, iman kepada taqdir dan atau yang sejenis lainnya. Amalan-amalan yang disebutkan belakangan ini, bisa bernuansa personal, atau mungkin dogmatis. Tetapi khusus untuk mengawali dan menutup ramadhan, lebih bersifat kolektif. Bahkan, tidak aneh pula, bila kemudian dalam mengisi ramadhan pun, tradisi sedekah, berjama'ah dan juga menjaga kerukunan menjadi sangat penting untuk dikedepankan !
Bagaimana menghadapi dialektika penentuan awal dan akhir Ramadhan, yang tak kunjung ada kesepahaman standar ? Ya, itulah yang ingin disampaikan di sini, bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah sebuah produk-kajian ilmiah (ru'yatul hilal atau hisab)., yang kemudian ditetapkan secara kolektif untuk dijadikan panduan dalam melaksanakan amalan Ramadhan di tahun berjalan.
Kita semua berharap, bahwa perbedaan sikap adalah hak personal, tetapi kesepakatan adalah hak-intelektual untuk berdialog. Maksudnya, secara personal setiap orang memiliki hak untuk berbeda pendapat, tetapi secara intelek, setiap orang memiliki hak dan kewajiban untuk mendialogkan. Karena hak-intelek itu adalah melakukan analisis dan mengambil keputusan untuk meraih putusan yang terbaik. Dalam dua riwayat tersebut saja, Rasulullah Muhammad Saw sebagai insan terbaik dan soleh, merujukkan keputusannya kepada orang lain yang melihat hilal. Hal ini, mengesankan bahwa untuk pengambilan keputusan ramadhan, kesalehan personal tetap berada dalam ruang dialog dengan temuan intelektual atau pengamatan faktual orang lain.
Wallahu alam bishowwab. Bagaimana pendapat pembaca ?