Ramadhan dan Feminisme
Fenomena ini, kelihatannya akan sulit dijawab, kecuali dikembalikan pada kultur-ekonomi masyarakat setempat. Artinya, para pencari nafkah adalah kaum lelaki, tetapi pengelola anggaran keluarga adalah kaum perempuan. Oleh karena, kultur ekonomi seperti ini, seakan memberikan implikasi lanjutan, bahwa persiapan sahur dan buka puasa Ramadhan adalah kaum perempuan.
Lantas mengapa para penjaja kudapan Ramadhan diwarnai kaum perempuan ? Tafsir sederhananya, akan ada gejala bahwa kalau kegiatan ekonomi (dagang) itu adalah kegiatan permanen, akan dikendalikan oleh kaum lelaki. Misalnya jualan baso, jualan martabak, atau makanan, bila pekerjaan itu adalah pekerjaan permanen (sehari-harinya mereka dagang), maka hal itu akan dipegang kendalinya oleh lelaki. Tetapi, jika praktek dagang di pasar Ramadhan itu sifatnya adalah sementara, maka pelakunya kalau tidakibu-ibu, yakni kaum mahasiswa atau pelajar perempuan.
Secara sederhananya. bila kegiatan UMKM Ramadhan itu bersifat sementara, akan didominasi oleh kaum perempuan. Tetapi jika kegiatan UMKM Ramadhan itu bersifat permanen, akan dilakukan oleh kaum lelaki yang notebene sebagai penanggungjawab pencari nafkah. Akankah, kita melihat, peluang adanya pengembangan pemberdayaan perempuan di tengah masyarakat kita ini, atau peluang penguatan emansipasi ekonomi di bulan Ramadhan ?