Ramadhan, Puncak Kearifan yang Membumi
Banyak kelakuan, yang menjadi penutup dari kegiatan Ramadhan. Tentunya, satu diantara mereka, ada yang menutup kegiatan Ramadhan dengan melaksanakan kegiatan mudik lebaran. Mudik ke kampung halaman, dengan maksud dan tujuan untuk bershilaturahmi dengan sanak saudara, karib kerabat, atau teman-temin di kampung halaman. Kegiatan in, salah satu bentuk kegiatan penutup ramadhan.
Dalam menatapi kegiatan serupa itu, ada yang memberikan komentar kurang-positif. Dengan ajuan pertanyaan, "mengapa harus maksa-maksain mudik, kalau situasi ekonomi tidak memungkinkan ?", atau "bukankah mudik itu tidak wajib, karena cara shilaturahmi itu, kan bisa dilakukan juga dengan cara daring atau virtual?"
Komentar dan tanggapan itu, tentunya, adalah hal yang wajar. Mudah dipahami. Setidaknya, bagi mereka yang sudah terbiasa pulang pergi ke kampung halaman, atau memiliki modal ekonomi yang baik, maka shilaturahmi dengan keluarga di kampung halaman, adalah sesuatu hal yang biasa, dan mudah dilakukan di hari-hari biasa. Sehingga dengan demikian, maka adalah hal yang wajar, bila mereka dapat melakukannya tiap minggu, atau bahkan sesuka hatinya untuk bisa mudik ke kampung halaman. Tetapi, bagi sekelompok saudara kita yang lain, kegiatan serupa itu tidak bisa dia lakukan. Waktu dan kesempatan terbaik, tentunya adalah di liburan panjang idul fitri inilah, untuk mereka bisa mudik ke kampung halaman.
Bila dicermati dengan seksama, proses shaum di bulan Suci Ramadhan ini, dapat ditinjau dari tinjauan teori tasawuf hikmatul muta'aliyah Mulla Shadra. Kita tidak akan menggunakan seluruh teori itu, dalam membaca praktek ibadah shaum Ramadhan ini. Kita akan menyukupkan diri dengan melihat awal dan akhir Ramadhan, ari sudut pandang hikmah muta'aliyah.
Pertama, shaum ramadhan dapat disebut sebagai proses perjalanan makhluk menuju Tuhan (safar min al-khalq ila al -Haq). Dengan upaya sadar, sistemati, dan berkelanjutan, manusia melakukan upaya pembersihan diri. Shaum Ramadhan upaya sadar manusia, secara manusiawi dengan cara mengurangi makan, minum, kebutuhan biologis, serta menghapus kelakuan-kelakuan buruk manuasiw, untuk bisa mencapai derajat kesucian manusia. Derajat dan status kesucian manusia puasa itu, adalah manifestasi ilahiah dalam pribadi manusia harian di muka bumi.
Selama ramadhan pula, seorang muslim berusaha untuk menunjukkan sikap rahman, rahim, cinta sesama, dan juga ketulusan dalam berbakti. Semua itu, merupakan bagian kecil dari nilai-nilai ilahian yang dipancarkan dan upaya memancarkan dalam diri dan pribadi seorang muslim. Shaum Ramadhan adalah upaya sadar manusia untuk menanamkan nilai-nilai spiritual atau religius, atau nilai ilahiah dalam kehidupan hariannya.
Bahkan, beberapa hari terakhir yang tengah digandrungi umat Islam ini, adalah perburuan terhadap keberkahan lailatul Qadr. Perburuan lailatul Qadr merupakan upaya sadar dari rohani manusia untuk memi'rajkan kualitas diri dan kehidupannya. Raihan keberkahan malam qadr, adalah bagian penting dalam pencapaian derajat kesalihan manusia, dan akhir dari perjalanan ruhani manusia dari makhluk menuju khaliq.
Kedua, shaum Ramadhan pun, mengingkatkan kita untuk perjalanan akhir ruhani itu yang sesungguhnya, yaitu safar min al-Khalq ila khalq bil -Haq. Perjalanan ini mengandung makna, manusia melakukan perjalanan ruhani dari sisi kemanusiaan menuju nilai kemanusiaan dengan Keilahiaan. Bentuk nyata kegiatan di bulan suci Ramadhan, adalah nyata dan jelas, bahwa perjalanan ruhani seorang yang berpuasa itu, bukanlah titik ilahiah di langit tinggi di luar angkasa, melainkan dititik bumi yang manusiawi.
Apa buktinya ?
Bukti yang paling kasat mata, yaitu kewajiban menunaikan zakat fitrah. Kesucian jiwa manusia, atau nilai keilahian Ramadhan, tidaklah sempurna, manakala tidak ditutup dengan penunaian ibadah zakat Fitrah. Ini maknanya, sangat jelas, bahwa raihan lalartul qadr sekalipun, sejatinya tidak akan meraih berkah yang sempurna, manakala tidak mampu menunaikan jiwa kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari ini. Inilah makna kalimat safar min al-Khalq ila khalq bil -Haq, sebagaimana yang disampaikan Mulla Shadra, penghulu tasawuf Hikmatul Muta'aliyah (Puncak Kearifan).
Kewajiban moral dan kewajiban sosial lainnya, yaitu adanya tradisi mudik. Mudik sejatinya hanya instrumen atau media saja. Pesan moral yang dianjurkannya adalah saling memaafkan dengan sesama manusia. Model dan bentuknya bisa menggunakan ragam media,. Bershilaturahmi bisa dilakukan dengan cara daring maupun luring, langsung atau tidak langsung, cetak atau lisan, sendirian atau kolektif. Semua itu hanyalah bentuk dan caranya saja. Tetapi pesan moralnya, paska peraihan nilai-nilai kesucian di bulan suci Ramadhan, maka hal mendasar yang perlu dilakukan itu adalah membangun kerukunan, kebersamaan, keharmonian dan kesantunan di tengah-tengah masyarakat.