Profesi sebagai guru telah dijalani dua puluh tahun yang lalu. Bangga menjadi guru.Hobby menulis, banyak kata-kata yang tak mampu dilengakapi oleh kalimat yang keluar melalui bibir. Maka, menulis adalah cara aku berbicara dengan lantang. Hidup seperti awan diatas langit yang terombang-ambing oleh angin lalu dihempaskan ke bumi dalam bentuk hujan. Dan ingin menjadi air hujan yang menuduhkan hati yang gundah dengan suaranya, menyuburkan tanaman dengan air yang bermanfat, mengalirkan sungai dan membasahi tanah yang tandus.
Mengapa Harus Emosian di Bulan Ramadhan?
Hari senin pertama kali masuk kerja, kemaren yang melelahkan dan panjang. Bagimana tidak ? Sejujurnya, puasa ditengah aktivitas kerja memang tantangan yang sangat berat. Apalagi sekolah tempat aku bekerja empat lantai tanpa lift atau tangga eskalator. Naik-turun tangga dari lantai satu ke lantai empat, sungguh lumayan menguras tenaga.
Namun adahal aneh yang terjadi saat perjalanan menuju sekolah. Pertigaan Sedayu City, dekat Mcd Jakarta Timur. Entah bagaimana kejadiannya. Saat aku melintas ada dua orang pemuda berusia dibawah 30 an (tebakkanku saja), sedang bertengkar dengan posisi satu motor jatuh. Adu mulut yang seru, sehingga aku-pun menghentikan 'sihijau' di pinggir jalan. Bukan untuk menoton, tapi berniat untuk mendamaikan. Apa daya, aku perempuan dan lemah, tapi kenekatan aku lebih dari seorang lelaki.
Akupun ragu untuk mendekat karena posisi jalan yang tidak memungkinkan, aku dan mereka berjarak sekitar dua meter. "Jangan berantam" Teriak aku. "Udah...udah...istighfar...istighfar!" teriak aku lagi. Kedua pemuda tadi sempat menoleh dan melihat aku yang menggerak-gerakkan tangan tanda berhenti bertengkar. Hanya sebentar, aku mencuri perhatian mereka.
Pertengkaran masih berlanjut dan semakin seru, karena salah satunya sengaja meludah, dan menyulut amarah pemuda yang lain. "Ya Allah! udah..udah... Puasa..Puasa... Jangan berantam !" Kembali dengan sekuat tenaga aku berteriak konyol, dan itu konyol banget. Karena teriakkan aku mengundang banyak pengendara roda dua tertarik untuk menyaksikan perkelahian dua pemuda.
Menyaksikan orang-orang dengan reaksi yang berbeda, ada yang segera mengambil seluler dan segera merekam. Ada pula yang inisiatif melerai perkelahian adu otot itu. Bahkan ada pula yang hanya menonton. Namun, kebanyakkan dari mereka yang sibuk berlalu begitu saja mengejar waktu.
"Eh..ngen**t lu! " teriak kasar salah satu pemuda yang sangat emosi. "Astaghfirullah..." Aku membatin lalu pergi meninggalkan pertengkaran yang terjadi di jalan. Dalam perjalanan, aku hanya mengurut dada sambil membatin.'Apakah mereka tidak puasa ?
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara saudaramu yang berselisih dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (Qs. AlHujarat 10).
Teringat ayat ini, terpikirkanlah untuk mendamaikan. Namun, aku merasa konyol sekali. Mengapa harus menggunakan emosi untuk hal yang sepele ? Tidak ada yang terluka, motor hanya terjatuh dan lecet sedikit. Kenapa harus tersulut amarah dibulan puasa ?
Bagaimana jika itu aku yang tertabrak dan jatuh ? Apakah reaksiku juga akan sama ? Mungkin akan marah tapi tidaklah sampai sekasar itu.
Ramadhan ke enam, di ruang terbuka
Aghoesthine