Humor Sufi: Mencari Mahkota Puasa (2)
Budaya meniru pakaian orang lain agar diri dikatakan seorang yang beriman di lakukannya bahkan mungkin diri juga berpikir ketika melihat orang tidak memakai pakaian yang seperti digunakan adalah orang yang sesat dan bukan golongannya. Ini terjadi karena diri malas untuk berpikir dan belajar membuka Buku Panduan. Ketika diri berpikir demikian tak ubahnya diri hanya berpikir dari sisi jasmaniah saja.
Terpenjaranya pikiran diri akibat pemahaman yang tak dikuasai maka pakaian adalah hanya sekedar pakaian yang melekat di badan. si pemakai. Padahal jika kita mau mengkaji lebih dalam dalam Buku dikatakan pakaian bukanlah sekedar sesederhana itu. Melainkan sebagai bentuk baju "kebesaran" yang nantinya dipakai untuk menghadap Sang Pencipta.
Jadi apa sebetulnya makna dari pakaian itu? Pakaian adalah sebagai penutup diri manusia yang berupa pemahaman yang mengekang atau menutupinya. Maka ketika diri hanya memaknai seperti pemahaman umum yang ada sekarang ini maka hal yang ada sekarang ini adalah hal yang wajar. Karena diri hanya berpikir secara jasmaniah/badaniah bahwa baju adalah yang menutup badan manusia.
Maka baik buruknya berpakaian adalah dengan pantas/tidaknya pakaian itu di gunakan atau bahkan lebih menyedihkan jika pakaian diukur dari merk yang digunakan. Bahkan tidak jarang terjadi diri kita memakai pakaian yang tertutup tapi tak mampu mempu menutup pikiran yang kotor dalam kehidupan manusia.
Pemahaman yang demikian tak ubahnya seperti tali kekang kuda yang menjadi pengekang pikiran diri manusia dalam memaknai pakaian. Terlalu naif jika diri hanya meributkan masalah pakaian dengan pemahaman seperti ini. Dan jika orientasi pemahaman ini terjadi maka diri hanya fokus pada duniawi saja. Perlu kiranya diri untuk mendekonstruksi pemahaman yang ada dengan belajar dan mencari makna pakaian yang pas untuk kehidupan diri kita.
Puasa Sarana Mencari Pakaian
Bukan masalah harga/bahan/mode/merk dari pakaian yang pas untuk diri kita. Namun pakaian adalah sesuatu yang besar yang harus diperjuangkan oleh diri manusia agar pantas digunakan untuk menghadap pada Sang Pencipta. Ketika diri menghadap Sang Pencipta tidak pas dengan pakaian yang digunakan pastilah diri kita ditolak untuk masuk ke RumahNYA.
Maka ketika diri sekarang hanya meributkan pakaian "kebesaran dunia" yang dianggap sebagai hijab (penutup) namun belum mampu menutupi pikiran/perasan yang kotor maka ibaratnya diri masih telanjang. Inilah yang sering di ingatkan oleh para orang tua kita bahwa banyak diri manusia yang berpakaian namun masih telanjang dalam kesehariannya. Sebuah kerugian akibat diri malas untuk mencari makna dari pakaian itu.
Mencari hakekat pakaian yang sesungguhnya bukanlah hal yang mudah. Hal ini diibaratkan naik pohon dalam kondisi basah dan licin. Sehingga merupakan sesuatu yang sulit untuk mencari makna pakaian itu sendiri. Namun bukan hal yang mustahil dapat dicapai jika diri mampu dan memiliki keyakinan bahwa pakaian itu adalah hal yang dapat dicari dan di dapatkan.
Pencarian pakaian yang pantas dipakai adalah dengan melalui lima (lima sisi buah belimbing) proses yang harus dijalani dan dijadikan pemahaman dalam kehidupan diri kita. Proses itu dimulai dengan dekonstruksi makna atas pakaian itu yang didasarkan atas keyakinan dan kebersaksian diri atas kebenaran yang sesungguhnya. Dan puasa merupakan salah satu proses untuk membersihkan diri agar diri memiliki pakaian yang selalu terjaga kesuciannya.
Pemahaman dan keyakinan inilah yang menjadi dasar diri sebagai media untuk mencari makna yang sesungguhnya. Karena pakaian adalah sesuatu yang pantas digunakan dan selalu dalam kondisi suci untuk menghadap Sang Pencipta. Pemahaman baru tentang pakaian ini akan melahirkan dan menjaga motivasi positif dalam ujud nyala lilin sehingga mampu membuka cakrawala dan memperdalam samudra pemahaman serta akhirnya menjadikan diri tumbuh dalam kedewasaan dan kesempurnaan berpikir.