Toet Bude Trieng, Tradisi yang Dirindukan dari Kampung Halaman
Ramadan telah usai, syahdunya pekikan suara takbir menggelegar di seluruh penjuru dunia. Pikiran teringat jauh ke kampung halaman. Idul Fitri tahun ini, saya juga gagal pulang ke kampung. Bekerja sebagai tenaga kesehatan memang harus banyak sabar. Beruntung jika mendapat libur panjang, sialnya jika seperti saya, harus piket di malam lebaran. Meski begitu, tetap harus bersyukur, bisa membantu banyak orang dalam keadaan sakit pastinya juga mendapat banyak keberkahan dari Allah SWT.
Saya berasal dari Kabupaten Pidie tepatnya di Sigli, salah satu kota di Aceh. Pada awal 2020 lalu, saya mulai kerja di luar Sigli. Sampai akhirnya kini saya bertugas di Kota Sabang. Tidak bisa pulang ketika lebaran tiba memang sangat membuat hati galau. Tidak bisa bertemu orangtua dan meminta maaf secara langsung itu adalah sebuah siksaan untuk diri saya.
Selain itu, banyak hal yang sangat saya rindukan dari kampung halaman. Salah satunya adalah tradisi toet bude trieng.
"Matee aneuk meupat jeurat, gadoeh adat pat tamita", artinya mati anak ada kuburannya, jika adat yang mati, hendak dicari kemana.
Kalimat diatas adalah hadih maja dari Aceh. Yaitu semacam pepatah tentang adat. Tradisi toet bude trieng sudah menjadi sebuah adat yang berkembang di Kabupaten Pidie. Lalu apa itu tradisi toet bude trieng ?
Tradisi Toet Bude Trieng
Toet Bude Trieng merupakan tradisi menyalakan meriam bambu. Toet artinya menyalakan, bude trieng artinya meriam bambu. Tradisi ini hanya ada di Kabupaten Pidie. Salah satu lokasi paling populer diselenggarakan acara ini adalah di Pante Garot.
Toet bude trieng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tradisi turun temurun dari masyarakat Pidie dan sudah menjadi tradisi tahunan yang cukup populer. Konon, tradisi ini dulunya adalah sebagai upaya untuk mengusir hama babi (let bui) di Aceh. Ada juga yang menyebut jika toet bude trieng dulunya dilakukan ketika acara turun tanah (peutroen aneuk) di Aceh. Khususnya jika yang lahir adalah bayi laki-laki, maka toet bude trieng dimaksudkan agar si anak kelak mempunyai semangat dalam berperang, yaitu perang jihad fisabilillah.
Masyarakat Pidie khususnya yang berada Wilayah Garot, jauh hari sebelum lebaran sudah menyiapkan segala sesuatu untuk toet bude trieng. Mulai mencari bambu yang cocok, kuat agar tidak mudah meledak saat dinyalakan. Bude trieng biasanya dinyalakan menggunakan minyak tanah.
Dari Meriam Bambu jadi Meriam Karbit
Sudah terjadi dimana-mana, namanya adat atau tradisi pasti lambat laun akan mengalami pergeseran. Begitu juga dengan tradisi toet bude trieng. Banyak hal yang sudah berubah. Salah satunya adalah sekarang masyarakat tidak lagi menggunakan bambu sebagai bahan utama membuat meriam. Namun sudah menggunakan drum minyak yang sudah dimodifikasi.