Muhammad Yuwen
Muhammad Yuwen Foto/Videografer

Anak kecil

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Ketaatan Muhammadiyah pada Pemimpin dalam Penetapan Hari Penting Umat Islam Ditinjau dari Perspektif Hukum Nasional

10 Maret 2024   20:18 Diperbarui: 10 Maret 2024   21:03 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketaatan Muhammadiyah pada Pemimpin dalam Penetapan Hari Penting Umat Islam Ditinjau dari Perspektif Hukum Nasional
Foto pribadi

Muhammad

Sekretaris Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Pancor

Setiap mendekati bulan suci Ramadhan, maka saat itu pula muncul perdebatan terkait penentuan awal bulan suci Ramadhan. Perdebatan ini hampir dapat dipastikan muncul setiap tahun. Perdebatan memiliki fokus yang kuat pada persoalan perbedaan penentuan awal bulan suci Ramadhan yang ditentukan oleh Organisasi Muhammadiyah dengan Pemerintah melalui Kementerian Agama. Hadirnya perbedaan tersebut mengakibatkan hadirnya pula siklus persoalan yang hadir tiap tahun yaitu persoalan mengikuti "ulil amri minkum" atau pemimpin yang dalam hal ini sering diartikan sebagai kewajiban untuk mengikuti Pemerintah. Hal inilah yang merupakan dasar persoalan yang masih belum usai hingga saat ini dan sering di alamatkan kepada Muhammadiyah. Pertanyaan adalah apakah benar Muhammadiyah tidak mengikuti Pemerintah? Untuk menjawab persoalan tersebut akan dijawab melalui perspektif hukum nasional dengan rincian sebagai berikut.

Pertama, bahwa secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah memiliki kewajiban untuk bertindak berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mencerminkan nilai-nilai hukum. Hukum merupakan pedoman atau dasar Pemerintah untuk bertindak. Pemerintah yang bertindak dengan tidak berdasar hukum maka hal tersebut adalah kelaliman sebagaimana ungkapan "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman"

Kedua, bahwa produk peraturan perundang-undangan di Indonesia ada bermacam-macam, peraturan perundang-undangan memiliki tingkatannya masing-masing dan memiliki materi muatan yang berbeda. Sehingga untuk mengetahui peraturan perundang-undangan merupakan perintah, larangan, dispensasi atau izin, perlu dilihat di mana norma tersebut diatur dan bagaimana bunyinya.

Ketiga, pada dasarnya konstitusi sebagai produk peraturan perundang undangan tertinggi tepatnya dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sehingga setiap orang berhak untuk memilih agama dan tata cara peribadatannya. Hal tersebut merupakan hak dasar dari manusia yang harus dihormati oleh segenap kalangan. Untuk memenuhi hak dasar tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban untuk dapat menjamin hak dasar tersebut melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal bulan Ramadan atau hari raya Idul Fitri begitu pula dengan perayaan Umat Islam yang lain seperti Idul Adha dilakukan melalui sidang isbat dengan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Agama. Surat Keputusan sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai sedangkan sifat norma dari peraturan perundang-undangan bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus. Sekalipun terdapat surat keputusan yang bersifat secara umum, seperti penetapan hari raya, tetap saja sifatnya adalah penetapan, bukan mengatur secara umum.

Mengacu kepada isi dari Surat Keputusan Kementerian Agama terkait penetapan awal bulan Ramadan atau hari raya bahwa penetapan tersebut sifatnya adalah anjuran atau dapat juga dikatakan sifatnya rekomendatif. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi keperluan Umat Islam sebagaimana konsideran menimbang Keputusan Menteri Agama Nomor 300 Tahun 2023 tentang Penetapan 1 Ramadan 1444 Hijriah. Penetapan tersebut dilakukan sebagai bentuk pelayanan dari Pemerintah melalui Kementerian Agama untuk keperluan Umat Islam. Surat Keputusan tersebut bukan untuk dipaksakan berlaku kepada khalayak umum.

Surat Keputusan kementerian agama mengenai penetapan awal bulan Ramadan ataupun hari raya lainnya mengartikan bentuk tindakan Pemerintah terhadap penetapan hari-hari tersebut. Sifatnya adalah pilihan, bukan dipaksakan. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang berbeda dengan ketetapan Pemerintah jangan diartikan pihak-pihak tersebut tidak mengikuti Pemerintah, justru pihak-pihak tersebut mengikuti bagaimana formulasi hukum yang ada yang merupakan produk dari Pemerintah, mengingat hukum merupakan bentuk dari tindakan Pemerintah dan juga hukum merupakan dasar Pemerintah untuk bertindak.

Begitu juga dengan Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan atau hari raya yang tak jarang berbeda dengan Pemerintah. Tindakan Muhammadiyah tersebut justru mengikuti hukum positif yang berlaku. Produk hukum tersebutlah yang menjadi pedoman. Sehingga dengan kata lain Muhammadiyah tetap mengikuti perintah dari Pemerintah, karena Pemerintahlah yang mengeluarkan peraturan atau ketetapan tersebut. Sehingga Muhammadiyah jangan diartikan tidak mengikuti Pemerintah, justru sebaliknya Muhammadiyah tetap taat pada pemimpin.Setiap mendekati bulan suci Ramadhan, maka saat itu pulamuncul perdebatan terkait penentuan awal bulan suci Ramadhan. Perdebatan inihampir dapat dipastikan muncul setiap tahun. Perdebatan memiliki fokus yangkuat pada persoalan perbedaan penentuan awal bulan suci Ramadhan yangditentukan oleh Organisasi Muhammadiyah dengan Pemerintah melalui KementerianAgama. Hadirnya perbedaan tersebut mengakibatkan hadirnya pula siklus persoalanyang hadir tiap tahun yaitu persoalan mengikuti "ulil amri minkum" atau pemimpinyang dalam hal ini sering diartikan sebagai kewajiban untuk mengikuti Pemerintah.Hal inilah yang merupakan dasar persoalan yang masih belum usai hingga saat inidan sering di alamatkan kepada Muhammadiyah. Pertanyaan adalah apakah benarMuhammadiyah tidak mengikuti Pemerintah? Untuk menjawab perrsoalan tersebutakan dijawab melalui perspektif hukum nasional dengan rincian sebagai berikut.

Pertama, bahwa secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintahmemiliki kewajiban untuk bertindak berdasarkan dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku yang mencerminkan nilai-nilai hukum. Hukummerupakan pedoman atau dasar Pemerintah untuk bertindak. Pemerintah yangbertindak dengan tidak berdasar hukum maka hal tersebut adalah kelalimansebagaimana ungkapan "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpahukum adalah kelaliman"

Kedua, bahwa produk peraturan perundang-undangan diIndonesia ada bermacam-macam, peraturan perundang-undangan memilikitingkatannya masing-masing dan memiliki materi muatan yang berbeda. Sehinggauntuk mengetahui peraturan perundang-undangan merupakan perintah, larangan,dispensasi atau izin, perlu dilihat di mana norma tersebut diatur dan bagaimanabunyinya.

Ketiga, pada dasarnya konstitusi sebagai produk peraturanperundang undangan tertinggi tepatnya dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memelukagamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannyaitu. Sehingga setiap orang berhak untuk memilih agama dan tata caraperibadatannya. Hal tersebut merupakan hak dasar dari manusia yang harusdihormati oleh segenap kalangan. Untuk memenuhi hak dasar tersebut Pemerintahmempunyai kewajiban untuk dapat menjamin hak dasar tersebut melalui peraturanperundang-undangan yang berlaku. 

Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal bulan Ramadanatau hari raya Idul Fitri begitu pula dengan perayaan Umat Islam yang lainseperti Idul Adha dilakukan melalui sidang isbat dengan ditetapkan berdasarkanSurat Keputusan Kementerian Agama. Surat Keputusan sifat normanya individual,konkret, dan sekali selesai sedangkan sifat norma dari peraturanperundang-undangan bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus. Sekalipunterdapat surat keputusan yang bersifat secara umum, seperti penetapan hariraya, tetap saja sifatnya adalah penetapan, bukan mengatur secara umum.

Mengacu kepada isi dari Surat Keputusan Kementerian Agamaterkait penetapan awal bulan Ramadan atau hari raya bahwa penetapan tersebutsifatnya adalah anjuran atau dapat juga dikatakan sifatnya rekomendatif. Haltersebut dilakukan untuk memenuhi keperluan Umat Islam sebagaimana konsideranmenimbang Keputusan Menteri Agama Nomor 300 Tahun 2023 tentang Penetapan 1 Ramadan1444 Hijriah. Penetapan tersebut dilakukan sebagai bentuk pelayanan dari Pemerintahmelalui Kementerian Agama untuk keperluan Umat Islam. Surat Keputusan tersebutbukan untuk dipaksakan berlaku kepada khalayak umum.

Surat Keputusan kementerian agama mengenai penetapan awalbulan Ramadan ataupun hari raya lainnya mengartikan bentuk tindakan Pemerintahterhadap penetapan hari-hari tersebut. Sifatnya adalah pilihan, bukandipaksakan. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang berbeda dengan ketetapan Pemerintahjangan diartikan pihak-pihak tersebut tidak mengikuti Pemerintah, justrupihak-pihak tersebut mengikuti bagaimana formulasi hukum yang ada yangmerupakan produk dari Pemerintah, mengingat hukum merupakan bentuk dari tindakanPemerintah dan juga hukum merupakan dasar Pemerintah untuk bertindak.

Begitu juga dengan Muhammadiyah menetapkan awal Ramadanatau hari raya yang tak jarang berbeda dengan Pemerintah. Tindakan Muhammadiyahtersebut justru mengikuti hukum positif yang berlaku. Produk hukum tersebutlahyang menjadi pedoman. Sehingga dengan kata lain Muhammadiyah tetap mengikutiperintah dari Pemerintah, karena Pemerintahlah yang mengeluarkan peraturan atauketetapan tersebut. Sehingga Muhammadiyah jangan diartikan tidak mengikuti Pemerintah,justru sebaliknya Muhammadiyah tetap taat pada pemimpin.

Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun