Berpuasa (Mestinya) Beuneur
Nabi Muhammad saw selalu mewanti-wanti pada umatnya yang berpuasa Ramadan dengan sabdanya, "Betapa banyak yang berpuasa, tapi muspra, karena sekadar menahan lapar dan haus."
Berkaitan dengan sabda Nabi ini, ada kisah menarik bahwa suatu hari di Bulan Ramadan, Rasul saw lewat di suatu rumah dan mendengar dengan jelas seorang majikan sedang memarahi dan memaki-maki pembantunya. Rasul menghampiri majikan itu sambil membawa makanan dan menyuruhnya untuk berbuka.
Seorang majikan tersebut merasa heran dan bertanya-tanya, kenapa Rasul memperlakukannya seperti ini, padahal ia sedang berpuasa.
Kata Rasul, "Bagaimana mungkin anda berpuasa, sedangkan aku mendengar anda tadi memarahi dan memaki-maki pembantumu?" Makanya, "Begitu banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa (makna) dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus." Rasul menutup sabdanya.
Berpuasa itu mestinya tidak berhenti pada kondisi yang sekadar menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seks beserta hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari. Tapi lebih daripada itu, mestinya sampai pada kondisi menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan menghindari perbuatan yang keji dan tidak terpuji.
Bahkan, berpuasa itu mestinya lebih bersifat esoterik dan metafisik, yakni hanya berorientasi dan memfokuskan diri pada keridaan Allah semata. Artinya, terbebaskan dari kebutuhan dan kecenderungan perilaku yang bersifat eksoterik dan duniawi yang dapat merendahkan marwah (martabat dan derajat) kemanusiaan dan hamba-Nya yang paling mulia.
Ramadan hanyalah momentum dan madrasah selama sebulan. Tapi, dalam sebulan ini, mampukah kita memanfaatkannya semaksimal mungkin sehingga memiliki efek positif pada sebelas bulan berikutnya?
Tradisi baik di Bulan Ramadan yang kita lakukan ibarat menenun kain. Jangan sampai kita mengoyak kain yang sudah utuh dan kuat itu yang selama sebulan penuh dengan susah payah kita tenun, terurai menjadi utasan benang kembali. (Q.S. An Nahl ayat 92). Sungguh kerja yang sia-sia. Artinya, semangat keberagamaan yang menggebu dan cahaya spiritual yang berpendar selama sebulan penuh di Bulan Ramadan, jangan sampai melemah dan meredup kembali di bulan-bulan di luar Ramadan.
Tradisi tadarusan, qiyamul lail, bersedekah, dan seterusnya yang merupakan amalan-amalan baik lainnya selama Ramadan, harus terus dirawat pada bulan-bulan di luar Ramadan. Jangan sampai berhenti pada Ramadan ini saja. Makanya, diharapkan di Bulan Ramadan ini, kita berpuasa selain harus benar tapi juga beuneur.
Benar artinya sesuai dengan yang disyariatkan. Memenuhi syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan puasa secara fiqih. Sedangkan yang namanya beuneur (Sunda) artinya berisi. Lawannya adalah hapa (Sunda) atau gabuk (Jawa) artinya hampa, kosong, tak berisi.
Oleh karena itu, dalam literatur kitab klasik, misalnya, Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali (wafat tahun 505 H) memilah ritual puasa kepada tiga level: Shaum al-'umum (puasa umum), shaum al-khusus (puasa khusus), dan shaum khusus al-khusus (puasa super khusus).