Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.
Puasa Mengajarkan Kita untuk Tidak Rakus
Pernahkah kalian berbuka puasa dengan banyaknya sajian makanan di atas meja? Kalian seolah ingin balas dendam karena seharian tidak makan dan minum dengan melampiaskan makan sebanyak-banyaknya.
Begitu sajian di atas meja tidak habis, perut kalian sudah tidak bisa muat lagi maka sajian-sajian tersebut mubazir begitu saja.
Kondisi semacam ini hampir dialami oleh banyak orang di hari-hari pertama puasa terutama bagi mereka yang jarang atau tidak pernah puasa sunah Senin dan Kamis. Mereka akan kaget begitu puasa karena saking lemas dan laparnya.
Saya pernah mengalami situasi ini. Saya mengambil nasi di dapur cukup banyak dengan lauk bermacam-macam. Saya yakin sekali bahwa saya akan menghabiskan semuanya karena saya sangat lapar.
Ketika saya meminum es sirup dengan toping timun suri, saya sangat lega. Lalu saya melanjutkan menghabiskan makanan itu. Sayangnya, ekspektasi saya berlawanan dengan realitas.
Ekspektasi saya sebelumnya adalah saya akan bisa menghabiskan semuanya namun realitasnya saya hanya mampu menghabiskan setengahnya.
Pertanyaannya adalah, kenapa saya tidak habis? Padahal biasanya porsi makan saya memang segitu. Apalagi ketika puasa, saya hanya makan sehari dua kali, buka dan sahur. Lalu malamnya saya hanya menyemil camilan kriuk-kriuk atau buah-buahan segar.
Di sini timbul sebuah asumsi bahwa apa yang saya lakukan adalah bagian dari kerakusan. Bagaimana tidak rakus, saya mengambil makanan sebanyak-banyaknya. Tidak mengambilnya sedikit demi sedikit tapi mengambilnya secara banyak sekaligus.
Padahal kalau saya mengambil porsi makanan yang sedikit saya bisa menambah porsi lagi jika memang saya merasa kurang.
Mungkin benar apa kata Nabi Muhammad dulu bahwa berbuka dengan yang manis cukup dengan satu kurma dan air putih. Logikanya, bagaimana bisa kenyang dengan satu kurma?