Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Relawan

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Komunikasi

4 Mei 2021   23:51 Diperbarui: 5 Mei 2021   00:05 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunikasi
Desain: Canva

Kalau mau mundur setahun ke belakang, rasa-rasanya, enggak ada yang enggak berubah sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020. Artinya, semua mengalami perubahan karena hampir semua sektor di kehidupan kita terdampak oleh virus yang diduga berasal dari China ini. Contohnya, dulu, orang harus berangkat ke kantor untuk bekerja namun, kini, orang justru dianjurkan bekerja dari rumah (work from home) untuk meminimalisir kontak langsung dengan sesama. Hal yang serupa juga terjadi dengan anak sekolah, di mana karena sekolah ditutup, mereka diminta untuk belajar dari rumah. Dulu, jarang sekali kita menjumpai orang dengan masker. Mungkin hanya satu atau dua orang saja untuk menghindari polusi udara. Namun kini, semua orang wajib menggunakan masker untuk menghindari persebaran virus lewat droplets. Bahkan, ada peraturan tidak boleh memasuki sebuah tempat publik jika tidak menggunakan masker.  

Nyatanya, walaupun sudah setahun lebih berlalu dan kita seakan sudah akrab dengan semua perubahan ini, tetap saja ada pertanyaan penuh pengharapan, "Sampai kapan ya pandemi Covid-19 ini?" 

Sayangnya, tidak ada satupun yang tahu jawabannya. 

Josep Borrell, seorang perwakilan dari Uni Eropa, di sebuah artikel website European External Action Service mengatakan, "Covid-19 will reshape our world. We don't yet know when the crisis will end. But we can be sure that by the time it does, our world will look very different. How different will depend on the choices we make today." 

Ya, saya pun (dan mungkin kamu juga) meyakini bahwa kita tidak akan kembali ke kondisi semula saat Covid-19 ini berakhir. Di sisi lain, tidak dipungkiri juga, pandemi ini justru memunculkan banyak hal baru di kehidupan manusia. Sebut saja, berbagai inovasi dan pembelajaran hidup. Dari semua perubahan yang terjadi dan ternyata perubahan itu justru memudahkan hidup manusia, saya rasa akan tetap dipertahankan. Seperti, transformasi digital di mana semua terasa mudah untuk melakukan sesuatu dengan bantuan aplikasi elektronik dan jaringan internet. 

Ada yang menarik perhatian saya. Dalam buku 'Consumer Megashift 100 Post Pandemic', Yuswohady, seorang ahli pemasaran, menyebutkan bahwa ada 100 hal yang mengalami perubahan setelah pandemi, antara lain dalam kehidupan keluarga (family life) serta pola konsumsi dan belanja masyarakat. Mengapa bisa demikian? Disebutkan bahwa memastikan bahwa anggota keluarga dalam kondisi sehat menjadi bahasa cinta tersendiri antaranggota keluarga. Terlebih saat ditemukan fakta bahwa Covid-19 sangat rentan menyebar secara lokal. Jika sesama anggota keluarga tidak saling menjaga maka dapat menyebabkan klaster keluarga yang cukup mengkhawatirkan. Selain itu,  karena kesehatan menjadi prioritas terhadap anggota keluarga lainnya, maka orang-orang tidak ragu untuk membeli sabun cuci tangan, hand sanitizer, desinfektan, sampai masker. Semua dilakukan demi menjaga kesehatan secara individu maupun keluarga tersayang. 

Oleh sebab itu, tidak salah jika saya simpulkan bahwa pandemi ini ternyata menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan dan memunculkan kebiasaan/gaya hidup baru. Saya pun merasakannya sendiri. 

Tinggal terpisah dengan orang tua yang sudah masuk kategori lansia membuat saya harus ekstra berjaga-jaga. Terlebih, kedua orang tua saya sempat terkena virus Covid-19 beberapa bulan lalu. Walaupun keduanya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, kami semua di keluarga harus kompak untuk sama-sama mengingatkan. 

Whatsapp Group (WAG) keluarga yang isinya, mama, papa, saya, kakak, dan suaminya sangat efektif untuk saling jaga di masa pandemi ini. Walaupun secara geografis berjauhan, semua terasa dekat secara virtual. Mama dan papa di Yogyakarta, saya di Jakarta, serta kakak dan suaminya di Bogor. Kami rutin mengirim pesan untuk mengingatkan protokol kesehatan 3M (Mencuci tangan, Memakai Masker, dan Menjaga jarak), menjaga pola makan, dan olahraga. 

Whatsapp Group yang konon dianggap sebagai sumber berita hoaks ternyata tidak berlaku untuk untuk keluarga saya. Kami justru saling bertukar pesan dan berkirim foto tentang aktivitas masing-masing di masa pademi. Seperti, kabar mama dan papa yang rutin berjalan kaki pagi-pagi, masakan mama yang serba rebusan sayur untuk papa, paket kiriman dari online shopping yang baru tiba, serta hasil konsultasi dokter. Komunikasi yang efektif ini membuat kami dekat satu sama lain dan menjadi gaya hidup baru. Yang biasanya serba tertutup, membicarakan sesuatu yang sumbernya tidak jelas, berkirim gambar tentang itu-itu saja, menjadi aktivitas komunikasi yang lebih bermanfaat.

Kalau sudah begini, secara enggak langsung, enggak cuma kesehatan fisik semata yang terjaga tetapi kesehatan mental juga turut terjaga. Satu hal yang sering dilupakan orang kebanyakan. Lagi-lagi, #MyNewHealtyLifestyle ya, enggak cuma kesehatan fisik saja, kesehatan mental pun penting juga. Selain itu, saat semua bersatu, ternyata dapat menghasilkan kolaborasi yang positif. Menyenangkan, ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun