Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Psikolog

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Gundah Gulana Jelang Lebaran, Ada Apa?

19 Maret 2024   02:53 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:23 2935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gundah Gulana Jelang Lebaran, Ada Apa?
Sumber gambar : pexels.com

Tampaknya ia minder karena membayangkan akan dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Saat ini kondisi ekonomi keluarganya sedang tidak baik-baik saja, sehingga ia tidak bisa membawa sesuatu untuk keluarganya. Pikiran itu cukup membebani dirinya hingga asam lambungnya naik, membuatnya batal puasa beberapa hari. 

Stressor Itu Tidak Akan Hilang

Dari ketiga kisah di atas, mereka mengalami masalah penyesuaian diri dengan stresor dari lingkungan. Sikap orangtua, pertanyaan dari keluarga, kekhawatiran akan dibandingkan, dan masih berbagai situasi lainnya dapat menjadi sumber stres bagi individu. Namun kita tidak bisa mengendalikan sikap dan kata-kata orang lain bukan? Selama individu masih terpaku pada stresor, maka selama itu pula mereka akan mengalami gangguan penyesuaian diri dan kehilangan momen menyenangkan saat Lebaran. Sayang khan ya.. 

Dari tahun ke tahun, stresor semacam itu tidak akan hilang. Selalu ada saja orang-orang yang ingin 'mendalami' kehidupan orang lain atas nama keluarga. Satu orang penanya hilang, akan muncul penanya lainnya. Topik 'kapan nikah' akan hilang, atau cari sasaran baru, dan akan diganti dengan topik 'kapan punya anak', lalu bergeser ke 'kok anaknya kurus, padahal ibunya 'gemoy', dan begitulah seterusnya. 

Begitu pula dengan perbandingan, mulai dari membandingkan jumlah anak, status sosial ('kok belum punya rumah sendiri? Nggak bosen tah kontrak rumah terus?'), jenis pekerjaan ('kenapa pindah kerjaan lagi? Apa sih yang dicari? Kurang besar ya gajinya?'), hingga ke cara beribadah. 

Oleh karena stresor itu tidak akan hilang, maka biasanya saya mendorong klien untuk tetap datang saat Lebaran. 

Cara Bertahan Terhadap Stresor 

Sebenarnya cara untuk menghadapi situasi semacam itu banyak sekali diulas di media sosial, mulai dari cara sederhana hingga saran untuk menghubungi psikolog bila memang kecemasannya sudah mengganggu. Terhadap klien-klien yang memiliki masalah berulang, mereka perlu dibantu untuk menyelesaikannya saat ini.

Mumpung lagi puasa, jadi vibrasi energinya positif. Teknik sederhana yang saya gunakan adalah C.A.R.E. Berikut ini kepanjangannya : 

  • Cari makna stresor terhadap dirinya. Bagaimana persepsinya terhadap stresor itu dan perasaan yang muncul karena persepsi tersebut. Misalnya klien saya yang bermasalah dengan ibunya. Komentar ibunya menimbulkan persepsi bahwa dirinya buruk sebagai orangtua, membuat dia merasa bersalah berkepanjangan, akibatnya ia merasa sedih dan gagal. Selain itu ia beranggapan kalau ibunya tidak pernah bangga pada dirinya. 
  • Ajak individu untuk bergeser cara pandangnya. Kalau individu bersedia untuk mengubah sedikit cara pandangnya, besar kemungkinan ia menemukan makna lain. Klien tersebut saya ajak untuk memaknai komentar ibunya dari sudut pandang orang dewasa. Persepsi yang ia miliki berasal dari dirinya sebagai anak kecil ibunya. Saya ajak dia untuk melihat komentar itu sebagai dirinya yang sudah dewasa dan berkeluarga. Komentarnya, "Wah iya ya, saya baru sadar kalau saya bereaksi seperti saya masih anak-anak terhadap ibu saya, padahal saya sudah berusia 40 tahun." Lalu dia tertawa. Rupanya dia sudah bisa menertawakan dirinya sendiri. 
  • Rundingkan alternatif solusi dengan mempertimbangkan aspek positif dan negatifnya. Pada tahap ini, individu sudah bisa diajak berpikir rasional untuk memilih solusi terhadap masalahnya. Kita bisa bantu memaksimalkan coping style-nya yaitu cara dia mengatasi masalah. Dari berbagai alternatif solusi, kita bantu mana yang bisa dilakukan dengan melihat sisi positif dan negatifnya. 
  • Evaluasi tiap langkah solusi yang diambil. Tahap terakhir ini penting agar individu memiliki keyakinan diri untuk menghadapi situasi tidak menyenangkan. Bila diperlukan, solusi itu melibatkan orang lain, misalnya pasangan, atau teman terdekat. Contoh teman saya yang kuatir dibandingkan karena tidak bisa membawa apa pun saat Lebaran. Setelah berunding alternatif solusi, maka dia memutuskan untuk tetap datang dan ingin membawa sesuatu. Salah satu caranya adalah membuka pesanan dari keluarganya (open order = PO). Apa yang ditawarkan? Dia punya beberapa teman yang berjualan makanan ringan saat Lebaran, juga teman yang berdagang barang-barang. Dia bantu teman-temannya itu berjualan ke grup WA keluarganya. Ketika mendapatkan ide itu, wajah teman saya berseri-seri. Dia membayangkan bahwa dirinya akan sibuk membagi-bagikan barang dan makanan pesanan keluarganya, sementara dia sendiri hanya perlu membawa sedikit saja sesuai kemampuan finansialnya. Di pertemuan berikutnya, dia menceritakan kalau pesanannya banyak! Syukurlah.. 

Pada dasarnya metode CARE bisa diterapkan pada situasi dan jenis stresor apa pun. Modifikasi diperlukan bila stresornya agak berat dan kompleks. Anda juga bisa menggunakannya untuk membantu teman yang sedang gundah gulana saat ini.

Intinya jangan menghindar dari situasi tidak menyenangkan. Semakin menghindar, bayangan akan stresor itu akan makin menakutkan. Dan pasti memunculkan perasaan negatif. 

Akhir kata, selamat berpuasa dan menyambut Lebaran nanti dengan perasaan gembira serta bahagia. 

#mauberburutakjiljuga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun