Jalani Ramadan dengan Bahagia dan Tertawa
Waktu memang berjalan sungguh cepat. Bulan Ramadan 1444 Hijriah telah memasuki sepuluh hari terakhir. Aku selalu bermunajat, semoga puasaku di 20 hari sebelumnya diterima oleh Allah SWT. Dan, aku bisa menuntaskan puasa Ramadan tahun ini hingga momen Idul Fitri tiba.
Buat kalian semua yang membaca artikel ini, bagaimana kabarnya? Sehat-sehat ya? Lalu bagaimana dengan ibadah puasanya? Semoga masih semangat ya. Apalagi di sepuluh hari terakhir ini. Tentunya semangat dan energinya harus lebih ditingkatkan. Karena di akhir Ramadan, insyaallah kita akan merayakan Idul Fitri.
Haahh..., senang rasanya, bisa bertemu dengan Lebaran lagi. Buat perantau seperti aku, momen Lebaran akan selalu ditunggu. Karena di momen ini, aku bisa pulang ke kampung halamanku. Aku bisa mudik, dan sejenak melupakan berbagai rutinitas di tempat kerjaku. Bertemu dengan orangtua dan saudara, adalah pelipur lara yang mujarab.
Tema Samber Kompasiana hari ini adalah "Fiksi Humor Ramadan". Hhmm, jujur, sudah lama aku tidak menulis fiksi. Kegiatan menulis yang masih cukup rutin kulakukan, adalah menulis jurnal harian. Ya, kadang aku hanya ingin mengabadikan, apa-apa yang kualami dalam seharian. Dengan begitu, aku bisa membaca dan mengenangnya kembali di waktu-waktu yang lain.
Oleh karenanya, di kesempatan ini aku tidak akan menyajikan tulisan fiksi karyaku sendiri. Aku ingin berbagi, sebuah humor dari Gus Dur. Ya, Presiden RI keempat ini memang kita kenal sebagai sosok yang jenaka. Cerita-cerita lucu dari beliau, banyak tersebar. Dan banyak mengandung hikmah.
Seperti yang kukutip dari bola.com, berikut ceritanya:
Suatu hari di bulan Ramadan, Gus Dur menyambangi kediaman Presiden Soeharto untuk berbuka puasa bersama. Dirinya hadir ditemani Kiai Asrowi. Usai berbuka dan sholat maghrib, Gus Dur akan pergi ke tempat lain dan melewatkan waktu salat tarawih bersama. Pak Harto pun meminta kepada Gus Dur agar Kiai Asrowi tetap tinggal untuk memimpin sholat tarawih bersama.
Gus Dur pun mengiyakan permintaan Pak Harto tersebut. Namun, menurut Gus Dur, sang kiai harus diberi penjelasan dulu. Apakah sholat tarawih akan dilaksanakan dengan cara NU Lama atau NU Baru.
Pak Harto pun bingung karena dirinya tak mengetahui perbedaan antara NU Lama dan NU Baru. Soeharto kemudian bertanya kepada Gus Dur, "Memang kalau NU Lama gimana?" Gus Dur menjawab, "Kalau NU Lama, tarawih dan witirnya itu 23 rakaat."
Pak Harto kembali bertanya, "Kalau NU Baru?" Dengan santainya Gus Dur menjawab, "Kalau NU Baru diskon 60 persen, jadi tarawih sama witirnya cuma tinggal 11 rakaat." Hahahaa.