Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com
Idul Fitri Penuh Renungan di Tengah Pembatasan
Ada yang berbeda dengan 1 Syawal 1441 Hijriah tahun ini. Hari Idul Fitri pada 24 Mei 2020 kali ini dirayakan dengan adanya pembatasan. Pandemi Coronavirus menjadi penyebab pembatasan hampir di semua kegiatan kita sehari-hari.
Tahun-tahun sebelumnya, kita menerima begitu saja semua kemudahan hidup. Salah satu contohnya kata Idul Fitri identik dengan 'baju baru.' Di Indonesia, bagi para pekerja, Idul Fitri berarti 'dana THR.'
Memang tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, kenapa kita tidak mengingat kembali makna Idul Fitri yang sesungguhnya? Hal ini agar puasa dan ibadah kita selama Ramadan selama 30 hari lalu tidak sia-sia tanpa makna.
Idul Fitri merupakan hari kemenangan setelah sebulan penuh menahan hawa nafsu. Selain lapar dan haus, puasa juga melatih kita untuk lebih berempati kepada para fakir miskin. Mereka sangat mungkin tidak hanya berpuasa selama sebulan, namun setiap hari mereka adalah menahan lapar karena kemiskinan.
Selama ini, kita (mungkin) lupa. Saat menikmati lezatnya masakan Lebaran bersama keluarga tercinta, ada orang-orang di luar sana yang kelaparan di hari raya. Maka, di hari Idul Fitri ini, mereka pasti sangat bahagia jika ada dermawan yang memberikan makanan.
Pembatasan yang kita rasakan juga berdampak pada kegiatan ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan ataupun mata pencaharian sehari-hari. Jangankan baju baru untuk Idul Fitri, urusan makan dan minum pun mereka kebingungan untuk mendapatkannya.
Miris jadinya ketika kita mendengar kasus penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) baru-baru ini. Uang tunai yang peruntukkannya seharusnya untuk membeli bahan pangan sehari-hari (sembako) malah digunakan untuk membeli baju baru sebelum Lebaran. Padahal, kesalahan menempatkan prioritas bukan hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang lainnya.
Kalau kita renungi lebih dalam lagi, Idul Fitri di tengah pandemi global ini ini kembali mengingatkan kita tentang pentingnya sikap konsisten (istiqamah) dalam hidup. Ilustrasi sederhananya adalah setelah sebulan lamanya kita menahan nafsu, maka mulai Idul Fitri di bulan Syawal dan 10 bulan lainnya, kita tetap bisa konsisten beribadah. Jika saat Ramadan, kita rutin membaca Al-Qur'an setiap harinya, maka begitu pula di bulan Syawal ini dan seterusnya.
Bukankah ini mirip dengan pentingnya hidup sehat dan teratur selama dan sesudah pandemi nanti? Menutupi wajah dengan masker agar terlindung dari polusi dan rutin mencuci tangan terutama setelah bepergian. Jika kedua hal tersebut tak lagi teratur dilakukan setelah pandemi, maka peluang akan ada penyakit serupa sangat terbuka lebar.
Idul Fitri di tengah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ini juga mengingatkan kita tentang efisiensi dan efektifitas hidup. Dulu, sebelum pandemi, banyak anak muda nongkrong tak karuan di jalan. Tetapi sekarang, kerumunan massa tak lagi sebatas berkumpulnya banyak orang tanpa tujuan yang jelas.
Pembatasan selama Lebaran memang tak selamanya mengenakkan. Tapi, semua itu bertujuan untuk kebaikan bersama. Ini mirip dengan pepatah "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-bersenang kemudian."