Menikmati Suguhan Wayang Kulit Sambil Menunggu Sahur
Wayang merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang kini mungkin jarang menjadi tontonan mengasyikkan bagi generasi saat ini. Dianggap sebagai budaya "jadul", yang identik dengan kuno dan tidak kekinian. Namun, suguhan wayang yang berlakon lucu nan penuh humor dapat dijadikan referensi penghantar hiburan tatkala sahur tiba.
Sebagai hiburan sahur yang tidak biasa tentunya, melawan arus zaman. Dengan dominasi tayangan hiburan lainnya di layar kaca, atau melalui berbagai kanal media digital. Ada banyak hal menarik yang disuguhkan dalam berbagai lakon pewayangan. Khususnya yang mengisyaratkan berbagai perbuatan kebajikan dalam kisah hidup sehari-hari.
Apalagi jika lakon yang disajikan adalah aksi dari para punakawan. Ada Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong tentunya. Khusus untuk lakon Bagong inilah, penulis kerap mencurahkan perhatiannya. Terlebih jika lakon punakawan di dalangi oleh alm. Ki Seno Nugroho. Sebagai seorang dalang profesional dari Jogja, Ki Seno dengan selera humor tinggi sanggup membawa kita larut dalam kebahagiaan.
Ada banyak guyonan alternatif yang tersaji dalam lakon yang sarat dengan realita hidup. Antara para ksatria dengan rakyatnya, atau antara para punggawa kerajaan dengan hubungan sosialnya. Dimana dalam penyampaiannya sering pula menyinggung persoalan kehidupan. Walau disajikan melalui pendekatan budaya, yang apik dan menarik untuk disimak.
Begitulah wayang, dengan eksotisme penyajiannya. Sebagai khazanah budaya Indonesia, yang kiranya dapat kembali diangkat, untuk menjaga budaya bangsa. Walau hanya dapat ditonton melalui kanal-kanal media digital, yang berupa penggalan-penggalan kisah. Namun, unsur positif yang disampaikan seakan mampu membuat ibadah puasa di bulan Ramadan semakin mencerahkan.
Jika Semar sudah muncul, maka akan ada pesan-pesan kebajikan yang akan disajikan sebagai petuah hidup. Walau tingkah konyol dari tiga anak-anak angkatnya, selalu membuat petuah yang disampaikan oleh Semar, jadi melebar kemana-mana. Melebar dalam arti lebih relevan dengan persoalan yang nyata, kalau kata W.S. Rendra.
Waktu sahur adalah momen yang tepat tentunya, sambil mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih berserak dalam peraduan malam. Walau banyak hiburan lain yang dapat kita nikmati, namun ada kalanya jika sewaktu-waktu kita dapat kembali menyentuh unsur-unsur budaya bangsa. Agar pesona Indonesia dapat kembali tampil ke permukaan menghadapi gempuran budaya lainnya.
Ada banyak pesan moral yang dapat diambil, pesan kebaikan, walau sarat dengan kritik kehidupan. Selain itu, kita dapat mengenali karakteristik para tokoh yang diperankan dalam berbagai lakon pewayangan. Dimana hal itu dapat menjadi identifikasi dalam mengklasifikasikan realitas seperti peran yang tengah disajikan.
So pasti seru, jika suguhan alternatif bertema budaya dapat kita nikmati saat ini. Modernisasi dalam berbagai bidang di era digital jangan sampai meninggalkan budaya bangsa yang penuh dengan makna kebajikan. Khususnya ketika dihadapkan dengan perkembangan hiburan yang kini konon jauh pendekatan etika dan moral.
Kiranya demikian, hiburan dikala sahur yang tak biasa. Wayang adalah jati diri bangsa yang harus dijaga kelestariannya. Melalui publikasi yang kiranya dapat diviralkan secara kolektif melalui ulasan singkat ini.
Salam semangat Ramadan dalam damai, dan terima kasih.