Dugderan: Tradisi Kota Semarang Menyambut Ramadhan
tradisi unik dalam menyambut bulan puasa atau bulan Ramadhan. Tradisi itu disebut sebagai Dugderan.
Kota Semarang mempunyaiTradisi ini sudah ada sejak kepemimpinan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau Bupati Purbaningrat yaitu Bpati Semarang pada tahun 1881.
Nama Dugderan berasal dari bunyi bedug dan meriam yang dibunyikan di Masjid Agung Semarang kala itu (Sekarang menjadi Masjid Kauman). Bedug dan meriam tersebut dibunyikan tiga kali sebagai tanda awal puasa atau awal bulan Ramadhan.
Hal tersebut dilakukan oleh Bupati Purbaningrat untuk menyamakan persepsi masyarakat di Jaman Kolonial yang berbeda-beda dalam menentukan awal puasa. Di jaman kolonial, masyarakat Kota Semarang terbagi ke dalam tiga etnis yaitu: Keturunan Arab, Jawa, dan Tiongoa. Mereka yang beragama islam di antara ketiga suku tersebut mempunyai waktu yang berbeda-beda dalam menentukan awal puasa. Sehingga bupati Purbaningrat mempunyai inisiatif menyamakan waktu awal puasa.
Tradisi tersebut berlangsung sampai saat ini. Saat sebelum Pandemi Covid19, perayaan dugderan dimulai dari arak-arakan dari Balaikota Semarang dipimpin oleh Walikota Semarang yang berbusana Jawa lengkap. Dimulai dengan taria-tarian kemudian ada karnaval menuju ke masjid Kauman dengan membawa Warak Ngendog menuju masjid Kauman dimana GUbernur Jawa Tengah sudah menunggu di sana. Kemudian Walikota dan Gubernur Jawa Tengah akan berpidato dalam bahasa Jawa Untuk menyatakan awal puasa.
Dalam beberapa kesempatan Dugderan diadakan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan tidak di Masjid Kaumnan. Misalnya Dugderan tahun 2018.
Warak Ngendog adalah salah satu ikon Dugderan di Kota Semarang. Warak Ngendog adalah mahluk rekaan yang mewakili berbagai etnis di Kota Semarang yaitu etnis keturunan Arab, Tionghoa, dan Jawa. Unsur etnis Jawa diwakili oleh bentuk warak yang mirip kambing. Unsur Tionghoa diwakili oleh kepala warak yang mirip naga. Sedangkan etnis keturunan arab diwakili oleh bulu warak. Warak tersebut juga disimbolkan bertelur (bahasa Jawanya Ngendog). Ini menyimbolkan bahwa setelah berpuasa maka hasilnya (telur atau endognya) adalah manusia yang kembali suci atau kembali kepada fitrahnya.
Sebelum dan setelah dugderan sebelum pandemi covid19, di sekitar Masjid Kauman dan Masjid Agung Jawa Tengah biasanya ada semacam pasar rakyat yang berlangsung siang dan malam dengan menjual berbagai hal terutama mainan anak-anak dan lainnya.
Berdasarkan informasi yang beredar, tahun 2022 ini dugderan akan tetap digelar di Kota Semarang hanya tidak meriah melainkan dengan upacara sederhana.