Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil
Menghadapi Drama Anak yang Belajar Puasa
"Nda! Syamil hadiah puasanya ini aja, deh," seru bocah berusia 6 tahun seraya menyodorkan layar ponsel yang menampilkan salah satu marketplace.
"Ganti lagi?" tanya saya. Anak itu pun mengangguk malu seraya tersenyum.
Bulan ini adalah tahun ketiga Syamil berpuasa penuh satu hari. Waktu itu dia sibuk memilih hadiah jika berhasil puasa 30 hari. Saya pun ikut geli melihat tingkahnya karena pada saat itu, dia sudah mengganti hadiah puasanya sampai 20 kali. Apa pun itu, saya girang melihat antusias dia memilih hadiah. Artinya, dia akan memiliki usaha untuk menyelesaikannya sampai akhir.
Syafiq, kakaknya yang berusia satu tahun di atas Syamil juga sudah memasuki tahun ke-4 berpuasa di bulan Ramadan. Keempat buah hati, kami ajarkan berpuasa sejak dini, yakni pada usia 4 tahun. Semoga diberi kesehatan dan diberikan kemudahan sehingga mereka bisa berpuasa selama satu bulan penuh.
Tahun lalu malah ada acara mudik. Perjalanan dari Bogor ke Banyuwangi menggunakan transportasi mobil sangat menguras raga dan emosi. Mereka yang pada saat itu berusia 5 dan 6 tahun tidak merengek ketika kami harus berhenti di rest area untuk melakukan shalat Zuhur. Begitu juga dengan kedua kakaknya yang usianya jauh lebih tua.
Saya mengamati mereka yang hanya menatap orang-orang menikmati makan siang dengan gembira. Ayahnya sempat kasihan. Apalagi hidung ini terpaksa mengendus aroma masakan yang terbawa angin. Wangi. Mereka juga pasti menciumnya. Terus terang, kami juga tergoda.
Sebenarnya pada saat itu, kami berencana mengambil rukhsah sebagai bagian dari safar. Tidak apa-apa tidak berpuasa satu hari. Kami akan menggantinya pada lain hari. Bukankah orang yang terkena safar mendapat keringanan untuk tidak berpuasa?
Namun, anak kami malah tidak ada yang merengek minta makan. Akhirnya kami sepakat, selama mereka tidak bilang, 'lapar', kami akan tetap berpuasa sampai azan Magrib. Meskipun kami menyetir bergantian, suami sudah cukup haus menghadapi jalanan yang macet di bawah matahari yang terik.
Tega enggak, sih? Sebenarnya enggak. Namun, kami jadikan ini sebagai bagian dari pengajaran menghadapi ujian dan kesulitan. Kelak, jika mereka beranjak dewasa dan tidak lagi didampingi orang tua, mereka bisa mengatasi kesulitan tersebut tanpa bantuan orang lain. Mereka bisa menahan kesabaran dalam menjalani kerasnya hidup.
Pada saat Magrib, kami berhenti lagi di rest area berikutnya dan memberikan mereka makanan yang enak-enak.
Ada iming-iming hadiah? Pasti ada! Kenapa, enggak? Hadiah yang akan diberikan ketika mereka berhasil berpuasa selama 30 hari penuh tanpa batal satu hari pun, kecuali jika mereka sakit.