ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX
Dapatkah Majar Disebut sebagai Tradisi Ramadan ala Masyarakat Palembang?
"Kenapa ini kata tradisinya dipakai tanda petik, sih?"
Hehe, ya. Saya harus pakai tanda petik karena sebetulnya Majar ini bukanlah bagian dari tradisi yang boleh dibilang positif. "Tradisi" Majar ini malah cenderung negatif dan useless walaupun secara jujur harus saya katakan bahwa saya dulu juga pernah melakukannya hehehe.
Majar ini berasal dari kata Fajar. Sesuai namanya, berhubungan dengan waktu subuh. "Ngapain sih? Tadarusan di masjid gitu?" errr, sayangnya bukan. Jika sudah ada orang yang ngajakin, "eh besok majar yuk!" itu artinya diajakin jalan ke sekitar Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera hanya buat JJS (Jalan-jalan Subuh).
"Hah, ngapain ke sana subuh-subuh?"
Ya mejeng, pacaran atau main petasan. Begitulah. Intinya kegiatan yang nggak ada gunanya. Mau olahraga, ya kan gak subuh banget gitu juga. Lagian, kalau mau olahraga, lebih tepatnya sore menjelang berbuka, sebagaimana olahraga freeletics yang saya ceritakan beberapa hari lalu.
Padahal, di sekitaran Benteng Kuto Besak itu ada Masjid Agung. Kayaknya lebih berfaedah kalau Majar-nya di sana deh ya. Efek yang ditimbulkan dari kegiatan Majar ini juga banyak yang jelek. Saya baru saja baca berita online bahwa kegiatan Majar ini jadi ajang perang petasan yang berakibat banyaknya sampah. Belum lagi, tak jarang kegiatan ini memicu tindakan kriminal seperti pencopetan dan penodongan.
So, biar kata Majar hanya ada di Ramadan, mending cari tradisi lain deh, ya!