Harkitnas, Khofifah, dan Gaya Berpolitik Bangsa Ini
Kelima, sudah tahu dasar negara adalah Pancasila, namun mencampuradukan agama dan politik menjadi sebuah gaya baru di dalam bernegara. Lihat saja banyak pemuka agama, lebih banyak berpolitik praktis, polemik politis, dan setiap saat menebarkan kecaman pada pemerintah. Padahal siapa mereka ini?
Atau sebaliknya, para pemain politik, dan mirisnya mereka ini politikus gagal, barisan sakit hati, atau tidak cukup berprestasi kemudian menggunakan panggung dan kalimat agamis, menyitir bahasa dan ayat suci demi mendongkrak popularitas mereka.
Kedua kelompok ini memiliki pengikut dan penganut fanatis, campur aduk, dan cenderung juga sumbu pendek. Mudah dibakar dan dihasut juga dengan sentimen agama yang ada. Mereka kadang bukan orang tidak cukup bekal lho, sekelas doktor pun banyak yang ada di dalam politik gaya baru ini.
Keenam, perilaku munafik menjadi-jadi. Ketika anak buah tidak merasa malu, merasa bersalah, dan merasa benar ketika melawan aturan dan kepantasan. Mencari-cari dalih dan selesai ketika menggerakan massa. Hampir selalu demikian. Penegakkan hukum menjadi lemah karena demokrasi preman dan jalanan bisa menjadi solusi.
Hal yang oleh Budi Utomo menjadi keprihatinan itu kini juga sebentuk keprihatinan ketika berubah bentuk menjadi barbarisme gaya baru. Momen di bulan yang sakral untuk berbenah dan berubah menuju kepada yang lebih baik dari hari ke hari.
Potensi itu ada, jangan sampai menjadi bumerang ketika kita tidak mampu mengelola diri dan konflik kepentingan yang malah merugikan. Politik dan agama itu baik ketika mampu dijalankan dengan baik pula. Momen tepat dengan Lebaran sebentar lagi.
Terima kasih dan salam