Sutrisno dengan nama pena Penadebu, ASN di Babulu kabupaten Penajam Paser Utara. Menulis di beberapa media baik cetak maupun online telah menerbitkan beberapa jurnal, prosiding, dan beberapa buku. Kini menjadi pengurus organisasi profesi. Menjadi instruktur lokal dalam kegiatan menulis dan guru inti. Sutrisno dapat dihubungi di: 1. HP/Wa : 081253791594 2. Facebook : Sutrisno babulu 3. Email : sutrisnok809@gmail.com
Subuh Terbalik
Subuh Terbalik
Suwardi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di salah satu sekolah di Sepaku. Sebuah desa yang tenang di pinggiran Ibukota Nusantara (IKN). Kehidupan Suwardi diwarnai dengan dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya dan keinginannya untuk menjalankan ibadah dengan penuh ketaatan, terutama selama bulan Ramadan.
Sebagai seorang yang tekun beribadah, Suwardi terbiasa bangun sangat pagi, tepatnya pada pukul 03.16 Wite, agar bisa mempersiapkan diri untuk menjalani puasa dan beraktivitas sepanjang hari. Kebayangannya sudah memasuki pukul 04.16 Wite, dan dia pun bergegas untuk mandi dan menunaikan sahur agar memiliki energi yang cukup sepanjang hari.
Pukul 04.00 Wite, Suwardi melangkah dengan hati gembira menuju masjid. Dalam benaknya, dia membayangkan suasana khidmat saat salat subuh bersama jama'ah. Namun, begitu tiba di masjid pada pukul 05.00 Wite, Suwardi merasa bingung dan menyesal karena tidak ada satupun jama'ah yang terlihat.
Dengan perasaan yang campur aduk, Suwardi akhirnya memutuskan untuk melaksanakan salat subuh sendiri. Dia menyesal karena telat dan merasa kecewa tidak bisa merasakan kebersamaan dalam ibadah tersebut. Setelah selesai salat, Suwardi pulang ke rumah dengan perasaan yang terbebani.
Sesampainya di rumah, istri Suwardi dengan penuh keheranan menegurnya, "Kenapa sudah pulang?".
Suwardi semakin bingung saat mengetahui bahwa baru pukul 04.22 Wite, jauh sebelum waktu subuh sebenarnya. "Astaghfirullah...," bisiknya pelan.
Ternyata, Suwardi tanpa disadari telah melaksanakan salat subuh dua kali di tempat yang sama, yaitu masjid Al Falah Desa Bukit Raya. Ketenangan desa dan suasana Ramadan yang khusyuk membuatnya terjebak dalam kenyataan yang berbeda dengan pikirannya. Suwardi mengambil hikmah dari pengalaman ini, bahwa kekhusyukan ibadah tidak selalu tergantung pada banyaknya jama'ah, tetapi juga kualitas dan ketulusan hati dalam beribadah kepada Allah.
Setelah menyadari kekeliruannya, Suwardi mencoba meredakan rasa bingungnya.
Ia tersenyum malu dan menjelaskan kepada istri, "Maafkan aku, sayang. Tadi aku kira sudah waktu subuh, ternyata masih lama." Istrinya hanya mengangguk sambil tersenyum penuh pengertian, "Ah, tak apa. Mungkin kau terlalu semangat pagi ini."
Suwardi pun duduk di ruang tamu, merenung sejenak, lalu tertawa kecil mengenang kejadian tadi. Ia berpikir bahwa pengalaman ini merupakan sebuah pelajaran yang berharga. Namun, ia memutuskan untuk tidak terlalu terbebani oleh kesalahan kecil tersebut dan berfokus pada ibadah selanjutnya.