Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Dosen

Pendidik anak bangsa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Gorontalo yang gemar membaca segala macam bacaan dan suka melukis dunia dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Binatang Jalang Itu Adalah Kita: Sebuah Refleksi Idul Fitri

9 April 2024   18:59 Diperbarui: 9 April 2024   19:06 1406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Binatang Jalang Itu Adalah Kita: Sebuah Refleksi Idul Fitri
Kerdip Lilin Di kelam Sunyi. Sumber: Dokumen Pribadi

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintu-Mu aku mengetuk

aku tak bisa berpaling

Puisi yang mewakili keadaan kita. Negeri asing yang melambangkan ketersesatan kita, negeri yang penuh debu dosa yang mengasingkan kita dari jati diri kemanusiaan yang suci fitri. Kita kini termangu-mangu, memandangi caya lilin yang sunyi. Begitu jauhnya kita dari Dia, sehingga menyebut nama-Nyapun kita sungguh susah. 

Yah, betapa susahnya kita menyebut nama-Nya yang penuh seluruh. Secara lisan mungkin kita mudah menyebu tnama-Nya, bahkan dalam gema takbir Idul Fitri kita menyebutnya. Namun apakah hati kita bisa dengan mudah menyebut-Nya. Jangan-jangan lisan kita bertakbir namun nurani kita, kalbu kita sulit sungguh bahkan sekedar mengingat nama-Nya teramat sulit. Kita menjauh dari Dia sehingga hati kita gelap karena cahaya-Nya yang panas suci kini bagai kerdip lilin di kelam sunyi.

Begitu sulitnya menyebut nama-Nya sampai cahaya-Nya yang panas suci, kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Kita mengembara di negeri asing, mengumpulkan debu-debu dan menempelkannya di tubuh kita, hati kita. begitu tebalnya debu-debu itu menyatu dengan hati kita sehingga cahaya Tuhan yang panas suci sulit menembus hati. Bahkan cahaya itu kini tinggal kerdip lilin di kelam sunyi, Akankah kita biarkan cahaya itu tetap tinggal kerdip lilin di kelam sunyi? Akankah kita tetap menutup cahaya itu, membiarkan hati kita gelap?

Kegelapan itu menyebabkan diri kita hilang bentuk, bahkan remuk. Remuk adalah sakit yang tak terhingga. Sakit karena kita kehilangan jati diri kita. Sakit karena diri kita hilang, remuk diamuk debu-debu duaniawiah yang menjelma dalam bentuk aneka, keserakahan, ketamakan, amarah, dendam. Ketamakan pada harta. Ketamakan pada kekuasaan. 

Amarah dan dendam pada mereka yang kita anggap melecehkan kebesaran kita. Kericuhan yang kita ciptakan berbasis kerakusan dan ketamakan sehingga membuat orang lain tidak nyaman. Entah kericuhan yang kita ciptakan berbungkus kebaikan atau kericuhan yang kita citrakan sebagai agama melalui kemampuan retorika kita yang handal sehingga yang haram terlihat halal.

Aku melihat Chairil Anwar sebagai perwakilan diri kita, bermeditasi, memanggil-manggil Tuhan di kelam sunyi. Tuhanku, aku puitik capek mengembara di negeri asing. Aku takut bentukku hilang dan remuk terus menerus. Aku babak belur. Sudilah kiranya Kau melihat aku dengan pandangan kasih sayang-Mu yang seluas langit dan bumi. Aku kini berdiri di pintu-Mu yang tertutup disebabkan aku terlalu lama meninggalkan-Mu, mengangungkan egoku yang sering mengaum bagaikan binatang jalang. Inilah Aku yang dengan tanganku yang gemetar dihantam debu-debu, mencoba mengetuk pintu-Mu.

Tuhanku, takbir itu kian menghantam egoku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun