Hatiku Tertinggal di Pantai Watu Leter
"Hatiku tertinggal di Pantai Watu Leter. Pantai yang begitu indah dan begitu berkesan. Terletak di Malang bagian selatan."
Jujur, saya agak lupa kapan mengunjungi pantai ini. Kapan tepatnya saya agak lupa. Mungkin sekitar tahun 2016an silam. Meski saya lupa namun kesan mendalam masih sangat terasa hingga saat ini. Jejak digital dokumentasi pun juga entah lenyap kemana. Mungkin saja ikut lenyap saat memori telepon seluler saya bermasalah. Namun ya sudah, meski jejak-jejak dokumentasi itu hilang, bukan berarti hilang pula kesan indah itu dalam ingatan. Pantai Watu Leter di Malang bagian selatan begitu memesona hingga rasanya hati ini tertinggal di sana.
Berskutermatik Ria dari Ungaran Menuju Malang
Semuanya bermula dari sebuah perasaan, kalau orang Jawa menyebutnya dengan istilah suwung. Ya suwung, sebuah kata yang bermakna kehampaan dalam diri. Hampa karena kegalauan terus menerus, karena kebucinan yang tak berbalas. Alhasil mencoba menghubungi teman-teman yang satu frekuensi alias sama-sama senasib sepenanggungan, sama-sama hampa dan galau. Membuka aplikasi Line, mencoba membuka obrolan satu per satu dengan teman-teman yang memiliki indikasi kegalauan yang sama. Tak butuh waktu lama akhirnya saya menemukan juga. Sebut saja Parjo. Bersyukur sekali rasanya bisa mengobrol asyik dengan Parjo, sahabat sedari SMP yang ternyata sedang gundah gulana karena cinta. Dalam obrolan itu, kami berupaya untuk menemukan ide-ide untuk bagaimana caranya membunuh sepi, galau, dan kehampaan itu. Sudah bosan rasanya harus terus menerus terjebak dalam kegalauan tak berkesudahan. Akhirnya muncul sebuah ide, ide apa? Berskutermatik ria dari Ungaran menuju Malang melalui jalur pantura. Tujuan kami, menikmati perjalanan, menikmati keindahan alam yang membuat kami penasaran. Katanya, di Malang bagian selatan banyak sekali pantai-pantai indah yang belum terjamah. Parjo mengiyakan, namun ia mengusulkan untuk mampir sejenak di Surabaya, menjemput salah satu sahabat kami juga yang berkuliah di ITS, sebut saja Paimin. Kami pun berangkat menuju Surabaya. Delapan jam perjalanan kami tempuh hingga tiba di Surabaya. Perjalanan di siang hari sungguh panas sekali, namun segarnya es legen di Tuban mampu menyelamatkan kami setelah dehidrasi seharian di sepanjang jalan.
Menuju Malang Selatan
Keesokan harinya, kami bertiga menuju Malang bagian selatan. Dari Surabaya, kami berangkat pagi sebagai antisipasi mengingat kami yang buta medan. Saya berboncengan dengan Parjo dan Paimin mengendarai skutermatik ditemani gitarlele kesayangannya. Ternyata cukup jauh juga, hampir lima jam perjalaan waktu yang ditempuh. Setibanya di Malang bagian selatan pun kami dibuat bingung dengan banyaknya pantai. Namun akhirnya kami memutuskan memilih pantai watu leter. Cukup sulit akses masuk ke bibir pantai, berulang kami motor kami selip karena medan yang dilalui. Meski begitu tak menyurutkan langkah kami. Perjuangan itu terbayar! Tak disangka bakal menemukan pantai yang indah dengan pasir putih yang membentang. Bersih! Tak ada sampah! Kami memarkir motor dan berlari menuju pantai! Waktu itu tidak ada tiket masuk dan kami hanya membayar parkir yang dikelola warga setempat.
Gitarlele Kesayangan dan Bernyanyi Bersama
Tidur di atas pasir putih, tidak ada sampah plastik bekas botol air mineral dan sejenisnya, deburan ombak, dan birunya laut yang begitu indah. Ternyata keindahan alam itu mampu membuat kami lupa rasanya galau. Seketika! Paimin mengambil gitarlele kesayangannya dan mulai memainkan nada. Saya dan Parjo menyambutnya dengan bernyanyi, sebuah lagu reggae dari musisi reggae Indonesia, Tony Q Rastafara yang berjudul "Pesta Pantai". Kaki-kaki telanjang bergoyang-goyang! Menghempas hampa dan galau yang melanda jiwa.
Pantai Watu Leter begitu berkesan, mengapa? Pantai yang masih bersih, pemandangan yang indah, dan tentunya kala berada di sana membuat hati lupa kalau sedang galau dan hampa hingga kembali berenergi melanjutkan hari-hari dengan penuh motivasi tinggi.(prp)