Jangan Jadikan Bukber Virtual sebagai Ajang Pamer Makanan
"Kirim ke Bali, ya Mbah", ujar anakku menimpali.
Nah, itulah yang kumaksud bukber virtual.
Jadi menurut definisiku, bukber virtual tak harus dilakukan melalui panggilan video. Jaman aku tinggal di Bali dulu kan belum kenal WhatsApp, apalagi Zoom atau Google Meet. Maka bukber virtual-nya pun dilakukan lewat panggilan telepon biasa.
Dan, karena dilakukan secara virtual, makanannya pun hadir secara virtual juga. Saat Ibu mengatakan sedang memasak Rawon, kemudian ada aneka ragam takjil yang tersedia di musholla putri di rumah, gambaran makanan tersebut langsung membayang di pikiran.
Sampai sekarang, kebiasaan bukber virtual masih sering kulakukan. Di grup WhatsApp keluarga misalnya, aku dan saudara-saudaraku saling bertukar gambar makanan berbuka puasa. Kadang kalau ada foto makanan yang membuatku menelan ludah, kulempar guyonan minta dipaketkan ke Malang.
Tak hanya di grup keluarga, di beberapa grup WhatsApp yang kuikuti juga sering mengadakan bukber virtual. Dalam arti seperti yang sudah kujelaskan di atas, hanya sekedar mengirim gambar-gambar makanan yang dimasak sendiri.
Hakikatnya, bukber virtual adalah upaya dan sarana kita menyambung tali silaturahmi. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang, ketika pergerakan dan aktivitas kita serba dibatasi. Malah dengan mengadakan bukber virtual, kita bisa tahu saudara atau teman mana yang sedang dalam kesulitan.
Oleh karena itu, saat bukber virtual bersama keluarga atau teman-teman, kedepankan niat silaturahmi tersebut. Jangan menjadikan bukber virtual sebagai ajang pamer masakan atau makanan.
Bukankah bulan Ramadan adalah bulan pengendalian diri dan bulan empati?