Romantisme Mudik di Era Endemi Covid-19
Mudik ini sebenarnya bukan merupakan rangkaian dari sebuah kegiatan religi keagamaan. Mudik hanyalah tradisi yang terjadi ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan itu berjalan setahun sekali, diluar mudik menjelang peristiwa lainnya seperti Natal dan Tahun Baru.
Meskipun demikian mudik memiliki kesan mendalam, tidak sekedar pulang kampung untuk bertemu kerabat dan orang tua, tetapi memiliki nilai religius. Saling bermaafan, saling curhat penuh romantisme.
Romantisme dapat terjalin dengan siapa saja. Anak-anak dengan orang tuanya, atau dengan kerabatnya yang lama tidak berjumpa. Bisa juga menantu dengan mertua, dan dengan cucu-cucunya. Tidak sebatas itu, romantisme dalam peritiwa mudik juga terjadi antar warga pendatang dan pendatang dengan orang setempat. Romantisme itulah yang menjadikan mudik sebagai tradisi yang dipertahakankan dari dulu hingga kini.
Jika dipandang dari sudut ekonomi, peristiwa mudik itu tidak dinafikan dapat berdampak multifier efect pada dinamika pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang ketika pandemi covid-19 bergerak lamban dan bahkan cenderung stagnan, kembali tumbuh dinamis ketika terjadi mobilitas warga yang mudik. Mudik dapat memicu tumbuhkembangnya sumber-sumber ekonomi informal.
Bayangkan, jutaan orang yang mudik dari kota besar ke berbagai kota tujuan membutuhkan dukungan bahan bakar volumenya tinggi. Jasa perbengkelan mobil juga kebanjiran mobil yang mau service sebagai persiapan perjalanan jauh. Pemudik sudah pasti membekali dirinya dengan logistik bahan makanan untuk persiapan di jalan.
Penginapan transit, sudah pasti juga akan banyak menjadi sasaran pemudik jarak jauh. Apakah sekedar untuk beristirahat sebentar atau menginap sehari dua hari untuk menyegarkan badan yang cape. Demikian juga keberadaan rumah makan di sepanjang jalan yang dilalui juga menjadi hidup karena pemudik.
Jika semua simpul-simpul kegiatan itu diperhitungkan secara ekonomi sudah pasti akan mencerminkan jumlah peredaran uang sangat besar, yang tidak terjadi ketika masa pandemi Covid-19.
Persoalannya, mobilitas warga yang mudik itu tentu menuntut kewaspadaan, tidak hanya bagi warga yang mudik tetapi juga aparat berwenang yang memiliki tugas mengatur perjalanan di jalan raya. Pola kerja petugas perlu penyesuaian yang dinamis dan bersifat antisipatif mengikuti dinamika mobilitas warga yang mudik.
Di sisi lain dukungan logistik seperti ketersediaan bahan bakar di setiap SPBU juga dituntut untuk sigap menyediakan persediaan agar tidak menjadi persoalan bagi pemudik. Keberadaan SPBU dalam mendukung mobilitas warga yang mudik itu sangat krusial, kekurangan pasokan bahan bakar dapat menjadi sumber permasalahan yang merepotkan bagi semua pemudik.
Dengan demikian peristiwa mudik yang kedengarannya sederhana itu, ternyata dapat menumbuhkan romantisme. Romantisme yang terjadi pada peristiwa mudik tidak hanya berlangsung di antara warga yang mudik, akan tetapi juga juga melibatkan banyak pihak yang terkait di dalam rangkaian yang terjadi pada peristiwa mudik.
Semoga mudik ini dapat menumbuhkan motivasi kearah perkembangan ekonomi yang lebih prospektif.