Perihal Mukena
Ayu baru saja hendak melepas mukena yang dikenakannya, saat matanya menangkap ada seorang perempuan muda di sampingnya dan tersenyum. "Mbak, boleh pinjam mukenanya?" tanya perempuan itu.
Ayu melirik jarum jam mungil di pergelangan tangannya, sebelum kemudian mengangguk. Perempuan itu sigap menerimanya,"Nggak lama kok,mbak!" ucapnya segera mengambil posisi shalat di sebelah Ayu.
Ayu pun beringsut ke shaf paling belakang. Merapikan pakaian. Kemudian menuju cermin yang memang tersedia di bagian ruang shalat akhwat. Memupur pipinya dengan bedak agar cerah dan memulas pipinya dengan lipstik berwarna pink dan mengatupkan kedua bibirnya agar warna pada bibir merata.
Tak perlu waktu banyak. Ayu tersenyum. Wajah ayunya terlihat lebih cerah dengan gaya dandanan sederhana. Ayu memang tak suka dengan dandanan yang menyala. Tampil rapi dengan dandanan natural agar tak berwajah kusam, sudah cukup baginya.
Ayu memandang cermin. Dandan sudah, pikir Ayu. Apalagi? Tinggal menunggu perempuan muda yang meminjam mukenanya. Setelah itu, baru melanjutkan perjalanan. Untunglah tak lama menunggu. "Mbak, ini mukenanya. Terima kasih,ya," ujar gadis muda itu segera berlalu.
Ayu pun memasukkan mukena miliknya di tas. Dia tak kenal perempuan muda itu dan sebaliknya pun pasti tidak. Jarang juga tahu nama atau mengenal orang yang telah meminjam mukenanya.
Di masjid atau mushola, pinjam meminjam mukena adalah hal biasa. Obrolan yang paling sering terjadi antar dua orang tak dikenal mengenai mukena, terbatas pada pertanyaan : boleh pinjam dan ucapan terima kasih.
Ayu menarik napas. Membahas mukena adalah hal yang cukup sensitif dan ingin dihindarinya jika bisa. Pernah Ayu bercerita pada salah seorang temannya mengenai keberatannya, saat mukena miliknya dipinjam orang lain. Saat itu dia menolak untuk meminjamkan karena tak ingin menunggu.
Sayangnya, ayu bercerita pada orang yang salah. Ayu merasa tersudutkan. Temannya itu malah mengucapkan hal yang membuatnya merasa bersalah sekaligus kesal dan bingung.
"Kamu menghalangi orang lain untuk beribadah. Kenapa nggak dikasih pinjam saja. Dia kan sudah menyempatkan untuk salat. Di luar sana, ada yang tidak shalat," cerocos temannya.
Ayu terkesiap. Ayu yang punya mukena, kenapa ayu yang dianggap telah bersalah tidak meminjamkan? Kenapa juga, orang lain harus meminjam-minjam mukena, punya orang lain?