Tidak Ada Berkah Sadranan Tahun Ini
Sekitar sebulan mendekati Ruwah atau bulan sebelum sasi Poso dalam penanggalan Jawa, simbah setri (nenek) biasanya sudah bingung. Dia akan mulai menghubungi dan membagi tugas untuk anak cucunya mengingatkan tradisi sadranan. Siapa yang bakal membeli buah, siapa yang menyiapkan jajanan pasar, siapa yang belanja, hingga siapa yang memasak?
Tradisi ini akan dimulai tanggal 15 Ruwah atau Syaban dalam kalender Islam/Hijriyah, kira-kira dua minggu sebelum puasa Ramadhan. Sadranan bagi orang Jawa di daerah saya, Klaten, dan sekitarnya kerap disebut Lebaran itu sendiri. Kata simbah, Lebaran tidak bisa pulang tidak apa-apa tapi saat sadranan harus pulang.
Sadranan sendiri merupakan serangkaian tradisi di Bulan Ruwah menyambut puasa. Tradisi ini diawali dengan nyekar atau ziarah ke makam keluarga, pancen di rumah atau memberikan persembahan kepada keluarga yang sudah meninggal.
Puncaknya adalah sadranan dengan memikul jodang di suatu tanah lapang di desa. Semacam pesta rakyat dengan mengumpulkan sanak kerabat di perantauan. Bagi saya inilah yang paling seru. Tidak hanya satu keluarga tapi seluruh keluarga di satu kampung tersebut dikumpulkan. Kemudian, dikomandani oleh mudin atau perapal doa, orang-orang akan mulai berebut buah atau makanan yang ada di dalam jodang.
Uniknya, tanggal sadranan sendiri tidak bareng atau tidak digelar serentak dalam satu kabupaten. Misalnya, di Lusah, desa nenek saya, sadranan digelar tanggal 20, tapi di Cucukan kampung saya baru digelar tiga hari setelahnya. Padahal desa kami masih satu kecamatan. Kata nenek, ini berdasarkan urutan umur desa. Desa nenek lebih dulu ada dibanding desa saya. Kadang dalam satu desa yang membawahi beberapa dukuh, pun sadranan tidak dilaksanakan secara serentak. Sebab sadranan dilaksanakan per dukuh/dusun.
Sadranan yang tidak bersamaan ini juga menyebabkan Bakdo/Bodo (Lebaran) tidak bareng. Bakdo adalah tradisi sungkem antar keluarga maupun tetangga. Di Klaten, walaupun shalat Idul Fitrinya bersamaan tapi Bakdo-(Lebaran) nya tidak sama. Di desa nenek saya, Bakdo-nya adalah Hari H usai salat Idul Fitri sedangkan di desa saya, Bakdo-nya hari kedua atau keesokan setelah salat. Bingung? Biar tidak bingung, hayuk kapan-kapan merayakan Bakdo di kampung halaman saya.
Jadi akibat perbedaan hari Bakdo tersebut, saat kita hendak silaturahmi ke kerabat yang berbeda desa pasti hal pertama yang akan ditanyakan adalah kono Bakdo'ne kapan? (Sana Lebarannya kapan?). Sebab, jika kita datang di hari bukan Bakdo-nya, orang-orang maupun jamuan di ruang tamu pun akan ala kadarnya. Berbeda saat Bakdo-nya bisa satu kampung itu ramai sekali.
Jangan bayangkan ini seperti perbedaan hari salat Idul Fitri. Jika salat Idul Fitri bisa bareng atau berbeda hari, Bakdo ini terus seperti ini sejak dahulu. Jadi jika hari pertama Idul Fitri usai salat saya akan melewatkan waktu untuk bersilaturahmi di rumah nenek, maka hari kedua baru bersilaturahmi dengan tetangga di rumah.