Muhasabah di Tengah Musibah, Banyak yang Berharap Baik Tanpa Berperilaku Baik
Adakah seseorang yang beruntung karena hikmah di tengah musibah? Atau, seseorang yang sia-sia usahanya akibat keputusasaan terhadap cobaan?
Jawabnya ialah sempat. Kita semua sempat beruntung, pun juga sempat terkatung-katung. Mungkin itulah sifat alami manusia yang terkadang buas tanpa pernah puas dengan apa yang telah diberikan pencipta-Nya kepada hamba-hambanya ini. Munafiklah penulis pribadi jika tidak begitu juga.
Ramadan kali ini terasa sulit bagi sebagian orang, bahkan mereka yang beriman dengan menjalankan syariat-syariat di setiap ujung nafasnya. Sebab puasa kali ini, naik satu tingkat dari puasa biasanya, menuju pada hakikat utama dari pemaknaan puasa itu sendiri, yakni menahan. Menahan di tengah kebiasaan menumpahkan. Atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Konteksnya, tuntutan dalam mengendalikan segala bentuk kebiasaan adalah mutlak. Yang buruk di tahan dan yang baik di kendalikan supaya menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Pun bukan menahan dalam konteks mainstream (konsumsi) seperti biasanya, pada skala yang lebih luas lagi, ramadan dan puasa di tahun ini juga menuntut untuk menahan dari segala perilaku dan aktivitas harian yakni ekonomi dan industrialisasi. Sulitkan? jawabnya sangat sulit sekali bagi manusia pada umumnya. Namun, dibalik kesulitan itu terselip hikmah bagi mereka yang berilmu.
Muhasabah di Tengah Musibah
Terkadang, kita perlu sesekali merenung dan berpikir sejenak. Mengapa kita dihadapkan pada fenomena musibah seperti ini? Apa sebabnya? Dan mengapa tidak kunjung selesai?
Bagi mereka yang beriman dan berpikir, sebab musabab dari fenomena pandemi yang terjadi hari ini nyatanya merupakan cerminan dari perilaku kita sendiri. Mungkin juga termasuk saya, sehingga terjadilah kondisi seperti ini.
Bagi sebagian orang saat ini, berpuasa di tengah musibah mungkin terasa amat sulit. Kita tidak diperkenankan beraktivitas diluar seperti berkumpul, pada sebagian wilayah sudah tidak diperkenankan bekerja, bersekolah atau bahkan ekstrimnya lagi pembatasan dalam beribadah. Sulitkan? jawabnya memang sulit. Namun bagi yang beriman dan berpikir, pembatasan seperti ini harusnya malah menjadi bagian dari rileksasi aktivitas yang melulu padat dengan hiruk pikuk ekonomi dan industrial.
Maka, mari berhenti sejenak dan bijak beraktivitas pada skala yang lebih kecil. Mungkin dengan beristirahat sejenak seperti ini, dapat membantu memulihkan kondisi bumi tempat berpijak kita ini yang tiap harinya di cekoki limbah baik dari penjuru darat, air maupun udara supaya kembali lestari.