M. Uqbal Kuroma
M. Uqbal Kuroma Mahasiswa

Tertarik dengan dunia jurnalistik sejak SMP dan masih belajar hingga kini. Historical, Entertainment, Social, Nature etc.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Membuka Hati dengan Tradisi Sungkem di Hari Raya Idul Fitri

16 April 2024   22:14 Diperbarui: 16 April 2024   22:22 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membuka Hati dengan Tradisi Sungkem di Hari Raya Idul Fitri
Dokumen Pribadi: Berfoto Bersama dengan keluarga

Secara garis besar pada tiap perbedaan ini memiliki satu tujuan yang sama dalam melakukan tradisi lebaran, yaitu mendapat doa yang baik dan mengembalikan kesucian bersama dengan saling meminta maaf dan memaafkan.

Tradisi Sungkem (Ayu Sendari, 2021) ini memiliki makna yang tinggi dan mulia, ketika melakukan sungkem diri kita akan di tata menjadi pribadi yang rendah hati, bentuk ini hadir dengan menghadap kepada orang yang lebih tua dan menunduk atau melipat kaki, sehingga posisi badan menjadi lebih rendah dari orang yang disungkem, sebagaimana seorang meminta permohonan maaf dengan etika yang begitu baik. Tradisi ini menjadi suatu nilai yang utama dan harus terus diajarkan kepada anak cucu tiap generasi agar selalu terjaga dan terus dilestarikan.

Mencium tangan orang yang lebih tua, hal ini dilakukan dengan tanpa sungkan, hal ini melatih diri agar selalu bisa mengintrospeksi diri menjadi lebih baik. Dalam proses ini terjadi histori, dan juga evaluasi secara bersamaan, di mana orang akan berpikir apa yang ingin diucapkan dan mulia mengingat apa saja kesalahan yang telah lalau sehingga mencoba untuk mengevaluasi yang telah terjadi untuk mendapat perbaikan diri.

Sejarah sungkem ini berawal dari tradisi di Keraton Solo Menurut penjelasan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, Pengageng Kasentan Keraton Surakarta, tradisi itu awalnya diterapkan oleh Kadipaten Pura Mangkunegaran. 

Saat itu, Kanjeng Gusti Pangeran Agung (KGPA) Mangkunegara I berkumpul bersama seluruh punggawanya setelah Salat Ied dan saling memaafkan. Namun, seiring pergolakan yang terjadi di Nusantara, pihak Keraton jadi tak leluasa menggelar tradisi sungkeman. Penyebabnya tak lain adalah kecurigaan Belanda yang menganggap acara itu sebagai penggalangan massa untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Untungnya Pakubuwono yang saat itu berada di lokasi langsung menjawab kalau pertemuan itu bukan aksi penggalangan massa, melainkan tradisi sungkeman dan halal bi halal guna menyambut Idulfitri. Karena peristiwa itulah, tradisi sungkeman menjadi semacam "open house" hingga sekarang.

Namun lepas dari itu semua, sejarah awal dari Tradisi Sungkem itu sendiri masih belum bisa ditemukan dengan pasti. Beberapa sumber mengatakan bahwa tradisi sungkem sendiri merupakan akulturasi dari dua budaya, yaitu budaya Jawa dengan Agama Islam. Kedua budaya ini dilebur menjadi satu, berakulturasi dan muncul budaya sungkem.

Tradisi sungkeman diyakini sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Mangkunegara I memperkenalkan tradisi sungkeman saat momen Idulfitri. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Pada pertemuan ini diadakanlah tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam. Tradisi ini kemudian disandingkan dengan acara tradisi halalbihalal yang biasa dilakukan oleh lembaga, kelompok, atau keluarga.

Itulah sejarah yang sampai kini terus diadaptasi menjadi suatu yang selalu dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Akulturasi kedua budaya ini membentuk suatu nilai etika, itulah beberapa poin kesimpulan yang didapat saat berbicara dan ngobrol dengan Ibu Tri.

Dokumen Pribadi: Mengunjungi Rumah Nenek
Dokumen Pribadi: Mengunjungi Rumah Nenek

Adanya tradisi saling memaafkan atau sering disebut lebaran ini pun juga memberikan suatu efek sosial tersendiri. Lebaran (atau Idul Fitri) bukan hanya merupakan perayaan keagamaan, tetapi juga memiliki dampak sosial yang signifikan. Mari kita jelajahi beberapa efek sosial yang terkait dengan Lebaran:

  • Silaturahmi dan Hubungan Sosial: Lebaran adalah momen di mana keluarga dan teman-teman berkumpul untuk merayakan bersama. Tradisi mudik memungkinkan orang-orang untuk bertemu dengan kerabat jauh dan memperkuat hubungan sosial yang mungkin terputus selama pandemi. Ini membantu merekatkan hubungan manusia dan memperkuat kerekatan relasi sosial
  • Efek Psikologis: Meskipun krisis ekonomi dapat merugikan secara finansial, kerekatan sosial yang terjalin selama Lebaran dapat membantu meredam efek psikologisnya. Semakin banyak keterlibatan sosial, semakin bahagia orang-orang, dan mereka cenderung tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi yang sedang berlangsung
  • Dampak Ekonomi: Lebaran juga memiliki dampak ekonomi yang besar. Selain memberikan multiplier effect bagi ekonomi daerah melalui tradisi mudik, Lebaran juga meningkatkan konsumsi masyarakat dalam hal pangan dan sandang. Sebagai contoh, bantuan tunai selama Lebaran dapat meningkatkan daya beli keluarga penerima dan menggerakkan ekonomi lokal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun