Sekali maju, jangan pernah mundur ke belakang! Jikalau terpaksapun, itu hanya selangkah tuk gapai maju seribu langkah
Menakar Spiritualisme Ramadan di Tengah Kecamuk Wabah
Ada yang berbeda dengan Ramadhan di tahun ini, bila dahulu manusia menyambutnya dengan ramai dan penuh suka cita, sibuk serta antusias mempersiapkan segala pernak-perniknya, mengkapitalisasinya dalam bentuk banjir iklan dan tagline para politisi, memeriahkannya dengan desakan manusia yang berebut takjil gratis dan serba-serbi hidangan buka puasa, menjubelinya dalam kerapatan shaf jama'ah shalat fardhu dan tarawih, mengkhidmatinya dengan tadarus al-qur'an dari suara para qori' yang memecah keheningan malam di toa-toa surau dan masjid. Maka hari ini tidaklah demikian, entah berkurang frekuensinya ataupun sudah tidak ada sama sekali.
Sejak dunia dihebohkan dengan kehadiran pandemi covid 19 atau akrab disebut corona, segala bentuk aktifitas sosial dan semua pergerakan manusia tiba-tiba terhenti ataupun dibatasi oleh kebijakan pemerintah di masing-masing negara yang tengah terpapar virus tersebut.
Social Distancing atau Physical Distancing bahkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah inisiatif program yang dicetuskan negara guna memerangi pandemi yang sedang berkecamuk ini. Entah kapan berakhirnya, wabah ini terus mengganas menggrogoti siapapun, merusak momen kebersamaan apapun dan bahkan mengusik sendi-sendi peradaban termasuk moral dan wibawa spiritual Ramadhan.
Lantas, pudarkah aura sakral dan kharisma transendental dari Ramadhan beserta seabrek daya tariknya? Tidak fair bahkan kejam rasanya, jika bulan yang telah memiliki status quo sebagai "Sayyidus Syuhur" (Rajanya Bulan) pada almanak Hijriyah ini, mendadak divonis kehilangan taji spiritual ataupun berkurang daya magnetnya, tanpa diadili secara ilmiah. Pasalnya, Pertama; Ramadhan sudah sejak lama memiliki pesona sejarah yang menorehkan kisah pergumulan manusia dan peradabannya. Kaleidoskop peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadhan antara lain;
- Turunnya Wahyu al-Qur'an, terjadi pada malam senin, 17 Ramadhan - sebagian ulama mengatakan pada malam 24 - di Gua Hira' tahun 13 sebelum Hijriyah bertepatan dengan bulan Juli 610 Masehi (al-Bidayah wa an-Nihayah -- Ibnu Katsir)
- Perang Badar antara 313 Muslim versus 1000 Quraisy Mekkah dengan kemenangan di pihak Kaum Muslimin, terjadi pada jum'at pagi tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah atau 12 Maret 624 Masehi. (as-Sirah an-Nabawawiyyah -- Ibnu Hisyam).
- Penaklukkan Kota Mekkah (Fathu Mekkah) oleh Nabi Muhammad SAW, terjadi pada tanggal 21 Ramadhan tahun 8 Hijriyah atau 11 Januari 630 Masehi.
- Pembebasan al-Quds dari tangan Romawi oleh Amirul Mukminin Umar ibnu Khattab, terjadi pada 13 Ramadhan tahun 15 Hijriyah atau 18 Oktober 636 Masehi.
- Pembebasan Mesir dari imperialisme Romawi oleh Amru bin 'Ash, terjadi pada tanggal 1 Ramadhan tahun 20 Hijriyah atau 13 Agustus 641 Masehi.
- Pembebasan Spanyol oleh Panglima Perang Tariq bin Ziyad, terjadi pada bulan Ramadhan 92 Hijriyah atau 711 Masehi.
- Pembebasan Palestina oleh Shalahuddin al-Ayyubi melalui perang salib, terjadi pada bulan Ramadhan 584 Hijriyah atau 1188 Masehi.
- Perang Ain Jalut, antara pasukan Saifudin Qutuz melawan agresi militer pasukan tartar di Mesir yang dimenangkan oleh Kaum Muslimin, terjadi pada tanggal 25 Ramadhan 658 Hijriyah atau 6 September 1260 Masehi.
- Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia, terjadi pada tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah atau 17 Agustus 1945 Masehi.
Kedua; Ramadhan memiliki privilege (hak istimewa) dalam melipatgandakan nilai pahala dari ritual ibadah. Keistimewaan ini memberikan porsi lebih dan padat penghargaannya, karena dalam durasi sebulan penuh segala amal kebajikan manusia yang dilipatgandakan dapat mengganti atau bahkan meluluhlantakkan pernik-pernik kebiadaban dosa manusia dari yang lampau, sekarang dan akan datang.
Sehingga, tidak sedikit manusia yang terobsesi menambah frekuensi ibadah mereka dari amal wajib hingga yang sunnah, terutama menjelang sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, dengan harapan mendapatkan berkah "lailatul qadar" yang keutamaannya lebih dari seribu bulan atau 83 dalam hitungan tahun.
Sebagaimana terdokumentasi dalam firman Tuhan "Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam lailatul qadar. Tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu? Yaitu malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan (Q.S. al-Qodr 1-3) ".
Setali tiga uang, fenomena di atas barangkali serupa dengan karakter sosio-kultur masyarakat industri kapitalis yang terkena syndrome gejala weekend atau budaya "akhir pekan", tentu dalam perspektif yang berbeda. Menurut Herbert Marcuse -- sosiolog marxis bermadzhab frankfurt -- pada tahun 1970-an identifikasi tingkah laku manusia ditandai dengan ketidakmampuannya menahan godaan akhir pekan atau berlibur di hari minggu.
Para buruh kerja lembur untuk mengumpulkan uang, para pemodal dan pemilik pabrik sibuk mengumpulkan pundi-pundi laba, para birokrat menyelesaikan dinas keseharian mereka, dengan satu maksud yaitu berlibur dan demi kenikmatan sesaat di akhir pekan. Benang merah dari dua peristiwa di atas adalah, ternyata manusia seringkali tidak berdaya atau bahkan tidak mampu berdaulat di atas ruang dan waktu yang menjelma menjadi "masturbasi budaya" seperti syndrome gejala weekend atau bahkan "kapitalisme spiritual" seperti privilege Ramadhan.
Ketiga; manfaat puasa bagi manusia dan alam semesta. Puasa merupakan ibadah utama yang disyari'atkan dalam Ramadhan. Secara etimologi puasa bermakna menahan diri atau berpantang dari sesuatu. Uniknya, hal-hal yang dipantangi atau ditahan adalah hal-hal yang sebelumnya dibolehkan atau halal statusnya menjadi terlarang atau haram statusnya -- seperti makan, minum dan bersenggama (suami-istri) -- dengan durasi tertentu yaitu terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Tujuannya sebagai tarbiyah (edukasi diri) agar mampu melatih diri mengendalikan hal-hal yang halal, dengan harapan esok hari diri merasa ringan menahan dari hal-hal yang haram. Seolah-olah Ramadhan semacam "kawah candradimuka" bagi orang-orang beriman, wahana menempa diri agar kuat dan perkasa setangguh Gatotkaca dalam cerita pewayangan.