Masih Boros? Yuk Benahi Ramadhan Kita
Ramadhan memang bulan nan aduhai untuk kita lewatkan begitu saja. Semisal mulut yang bisa setiap saat mengunyah segala di 11 bulan lain, maka selama sebulan berpuasa diminta menahan barang setengah hari, fajar sampai maghrib. Kalau lambung selama ini terus berkontraksi tanpa kenal lelah untuk setiap asupan makanan yang kita makan, biarlah saat Ramadhan dipuasakan sejenak.
Itu jasmani, physically. Bagaimana dengan jiwa kita? Justru itulah intinya, ibadah puasa adalah cara Tuhan mendidik keinginan, hasrat, personal desire, nafs, agar tak liar, agar tak tamak. Bukankah lapar juga bermula dari hasrat, pun pemenuhan kebutuhan biologis suami istri juga beranjak dari nafs. Maka ada istilah orang yang tak pernah kenyang, meski ukuran lambungnya sama. Maka ada yang korupsi, meski kekayaannya telah menumpuk.
Keinginan, hasrat, nafsu memang fitrah bawaan manusia sejak lahir. Itu sebabnya Islam melarang membunuh keinginan. Lapar, haus, hasrat seksual, keinginan menjadi kaya, dan lainnya adalah inherent dalam penciptaan manusia, maka yang dituntut agama adalah bagaimana mengelola dan mengendalikannya agar tak liar, agar tak unstoppable, karena bisa merusak tatanan.
Siapa yang mampu meningkatkan kualitas kendali diri selama puasa, merekalah yang beroleh keberkahan. Maka salah satu identitas ramadhan adalah bulan keberkahan, marhaban ya syahrul Mubarak. Apa itu berkah? Ulama mendefinisikannya sebagai tambahan kebaikan, ziyadatul khair. Nilai lebih dari sebuah kenikmatan atau kebaikan. Maka sesuatu disebut berkah jika nilai kemanfaatannya optimal, sehingga melahirkan ketenangan dan kebahagiaan.
Berkah adalah pengalaman nonmaterial, ia bersemayam dalam jiwa. Uangnya mungkin tak banyak, tetapi karena berkah, nilainya mencukupi dan menenangkan. Sebaliknya, ada seorang executive muda yang kerja banting tulang, workaholic, dari pagi buta sampai dini hari. Uangnya berlimpah, tetapi bisa jadi tak membahagiakan.
Ramadhan sejatinya mengajarkan manusia untuk peka dan mahir memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Kualitas itu hanya diperoleh jika setiap yang berpuasa memiliki kapasitas pengendalian diri atas ragam keinginannya.
Saat berbuka, segelas teh dan sebutir kurma saja sudah cukup untuk membahagiakan orang yang berpuasa. Kebutuhannya telah terpenuhi. Tetapi karena keinginan, aneka menu di bazaar takjil nyaris kita borong semua, meski belum tentu semua itu termakan.
Pun menjelang akhir Ramadhan, hasrat mengkonsumsi mendadak melambung tinggi. Alih-alih mengoptimalkan ibadah, ruang-ruang konsumsi justru penuh sesak orang. Mereka membeli apapun sekadar memenuhi 'keinginan' berhari raya.
Ibadah puasa mendidik kita untuk terhindar dari derita karena gagal mengontrol keinginan. Karena keinginan yang tak terkendali adalah sumber penderitaan. Sebaliknya, bahagialah orang-orang yang telah mampu mengontrol hasratnya. Tak terkecuali hasrat mengkonsumsi, sehingga semestinya hasil dari laku puasa adalah efisien, tidak boros. Dengan cara itu, penghasilan kita menjadi lebih berkah.
Karena berkah adalah antitesa dari kecenderungan 'sedikit habis, banyak pun habis'. Semestinya, kalau sedikit habis, maka kala diberi banyak ada sisa. Dan sisa itu bisa jadi adalah keinginan yang ditahan yang selain bisa untuk ditabung di bank, juga bisa untuk bekal berbagi yang membahagiakan. Nah, kalau sampai pertengahan Ramadhan inii masih berperilaku boros, mari benahi ibadah puasa kita. ***