Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Editor

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Karena Merawat Keragaman Tak Cukup dengan Jargon

30 Mei 2019   23:00 Diperbarui: 30 Mei 2019   23:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketiga, kalau keragaman itu sunnatullah, maka jangan pernah berharap apalagi memaksakan penyeragaman. Artinya, ada batas-batas identitas perbedaan yang harus saling dijaga. Apakah seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang Kristiani otomatis disebut toleran, bisa jadi. Tapi belum tentu juga, seorang Muslim yang berkeyakinan bahwa mengucapkan selamat Natal adalah terlarang sebagai tidak toleran. Ini soal keyakinan yang berbeda, sehingga tak bisa jadi ukuran. Pengalaman ini pernah saya jumpai saat masih di SMA, dan semuanya fine-fine saja, baik yang mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal maupun teman yang non Muslim.

Saat kelas 2 SMA, ada seorang siswa Muslim di kelas kami yang sangat pandai dengan pelajaran exacta, terutama kimia. Dia bahkan menjelma menjadi the second teacher, karena menjadi tempat bertanya dan belajar, termasuk bagi yang non Muslim. Bahkan ada pemandangan tak lazim, ketika seorang non Muslim rela menunggu si jenius kimia itu shalat di masjid sekolah, karena ingin belajar Kimia. Pun ada siswa Budha yang pandai Matematika, dia sering jadi sumber brtanya soal rumus-rumus yang nlimet. Bagi saya, ini pemandangan toleransi yang indah. Levelnya sudah pada kualitas, yakni saling memberi kemanfaatan.

Di sebuah masa, pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid di-bully, karena dianggap elitis. Terutama saat dia menyelenggarakan kajian untuk orang-orang tajir di hotel-hotel. Saya bilang, biarkan, itu bagi tugas. Karena tidak mungkin Cak Nur mengisi pengajian di surau kampong, meski mampu, tapi manfaat ilmunya kurang optimal. Ini soal bagi tugas, soal segmentasi dakwah dan tabligh, karena tidak ada satu tokoh dengan kualifikasi kemampuan yang mampu menjangkau keseluruhan.

Sama halnya dengan tren hijrahnya artis, tidak sedikit yang nyinyir. Kalau dengan itu mereka menjadi lebih baik, lebih peduli, kenapa harus dibully. Mungkin yang berhasil merangkul mereka adalah kelompok Jamaah Tabligh atau sebagian salafi, ya biarkan. Karena NU dan Muhammadiyah nyatanya tak mampu menjangkau segmen itu. Maka sikap kita adalah hormati, bila perlu support agar animo masyarakat untuk belajar agama hidup dan bertumbuh.

Kualitas toleransi inilah yang harus dirawat dulu, sehingga kita cukup punya modal untuk menyemarakkan keragaman yang menjadi khazanah keindonesiaan kita. Kalau komitmen itu terjaga, maka kita sedang mengundang rahmat Allah turun menggarami keragaman kita. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun