Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Editor

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ramadan, Berkah, dan Krisis Kebahagiaan

22 April 2021   12:01 Diperbarui: 22 April 2021   13:49 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadan, Berkah, dan Krisis Kebahagiaan
Sumber: dompetdhuafa.org

Inilah problem masyarakat modern yang rentan mengalami krisis kebahagiaan. Bukan karena bahagianya sulit digapai, tetapi lebih pada cara kita merumuskan bahagia yang semakin rumit.  Kita hidup dalam semangat memenuhi hasrat (untuk memiliki), memburu kepuasan. Banyaknya keinginan dan angan-angan membuat kita kian tumpul untuk sekadar memilah kebutuhan dan keinginan, mana yang penting, mendesak dan mana yang sebetulnya bisa ditangguhkan.

Kebahagiaan menjadi berkonsep lebih rumit dan bahkan dipersulit. Ekspresinya adalah semisal tergambar pada mahalnya ungkapan "Bahagia itu sederhana". Quote ini bahkan sedemikian popular di kalangan anak-anak milenial, mungkin menjadi semacam penjelasan  situasi sebaliknya (mafhum mukhalafah). Bahwa semakin banyak orang yang mengunggah tentang betapa sederhananya untuk bahagia, maka sejatinya mereka, kita semua, sejauh ini hidup dalam rumusan kriteria bahagia yang tak sederhana alias rumit. Sehingga ketika suatu waktu kita mendapatkan pengalaman bahagia dari hal-hal sederhana, nilai (kepuasan)nya menjadi sedemikian tinggi.

Maka alih-alih tenang dan bahagia,  kita bisa terjebak dalam labirin berburu kepuasan tak berkesudahan. Lalu bagaimana mengobati kecenderungan "sakit" ini, spirit puasa Ramadhan mungkin bisa menjadi alternatif penawarnya. Secara khusus, situasi yang sejatinya dibutuhkan untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan itu bisa disimpulkan dalam konsep berkah.

Ramadhan adalah bulan penuh bekah. Prof Quraish Shihab pernah mengibaratkan Ramadhan sebagai bulan big sale (pahala). Bayangkan saja ketika kita tengah berada di sebuah mall yang biasa kita kunjungi, tiba-tiba dibuka obral besar untuk produk pakaian, sementara kita sedang ada uang, pastilah kita ingin membeli sebanyak-banyaknya produk yang biasanya berharga lebih mahal itu. Begitulah Ramadhan, Allah sedang mengobral pahala sebanyak-banyaknya, melebihi umumnya reward di bulan-bulan lainnya. Bahkan, di luar umumnya pelipatgandaan ganjaran amal perbuatan, khusus puasa Ramadhan Allah langsung mengambil alihnya, sehingga menunjukkan tingginya keutamaan.

"Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak hanya siangnya, malamnya Ramadhan juga penuh berkah pahala dari Allah. Termasuk dalam momen santap sahur, di dalamnya ada keberkahan. Dan puncak dari berkahnya Ramadhan adalah pada malam lailatul qadar. "Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadr: 3)

Meski sah-sah saja berhitung pahala sebagai motivasi beribadah, namun ada baiknya pula memahami keberkahan, termasuk lailatul qadar, dalam aspek yang lebih kualitatif. Ya seperti gambaran cerita di atas. Itu sebabnya, kapan datangnya malam lailatul qadar sendiri nyatanya dirahasiakan oleh Allah, supaya kita tak melulu hanya memburu lailatul  pada malam tertentu, apalagi sekadar ngopi dan bergadang seperti menunggu bintang jatuh.

Sebagian ulama, seperti Imam Ghazali, mengartikan berkah sebagai bertambahnya kebaikan (ziyadatul khair). Sementara Sebagian ulama lain seperti Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskannya sebagai kebaikan yang berlipat-lipat dan langgeng. Definisi lebih jelas diberikan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, di mana konsep berkah memiliki dua makna. Pertama, ia bertumbuh dan bertambah, berkembang. Kedua, kebaikan itu berkesinambungan atau abadi.

Soal rezeki (baca: uang) misalnya, ada orang yang mendapatkannya sedikit, tetapi manfaatnya tetap optimal. Ia menenangkan dan membahagiakan. Artinya manfaatnya jauh lebih besar dari nilai (nominal)nya, secara kualitas ia berlipat kebaikannya. Sebaliknya, ada orang mendapatkan uang berlimpah, tetapi rasanya masih kurang saja, atau uang itu mungkin habis tak berbekas, cepat habisnya dengan rasa kemanfaatannya yang kecil sekali. Ada istilah duit setan dipangan belis (uang setan dimakan iblis -red). Pameo ini biasanya merujuk pada "uang panas" yang didapatkan dengan cara dan jalan instan, terkadang sifatnya subhat, sehingga meski nominalnya banyak tetap tahu-tahu habis tak berbekas.

Kembali pada puasa Ramadhan, sejatinya semangat atau raison d'etre (maqashid syariah) dari ibadah ini adalah untuk mendidik hasrat manusia agar tak tamak. Kalau selama 11 bulan kita mungkin sering diburu ritual mengejar pemenuhan keinginan demi keinginan, maka selama Ramadhan kita dituntut menjadi raja atas keinginan kita, bukan budak kepuasan. Siapa yang mampu melakoni peran ini, yakni mendidik nafsunya, maka merekalah yang memperoleh kualitas hidup yang berkah; tenang dan bahagia. Kualitas tersebut sejatinya terangkum dalam ritual berbuka puasa, di mana segelas teh dan 3 biji kurma sudah membuat kita bahagia.

Dari puasa kita juga telah belajar bagaimana beratnya lapar dan dahaga, sehingga situasi ini semestinya menumbuhsuburkan kualitas empati, peduli, terhadap mereka yang kurang beruntung, orang-orang yang rutin merasakan lapar karena kemiskinan, orang-orang yang kesulitan sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Dari puasa kita juga belajar bahwa sekadar memenuhi kebutuhan itu kita sudah bisa hidup, bahkan membahagiakan. Ketika keinginan-keinginan tak penting bisa dikontrol, maka semestinya keuangan kita surplus selama Ramadhan. Nah, surplus ini bisa kita belanjakan untuk mereka yang terbiasa minus, minimal sebagian di antaranya. Cara ini akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Karena saat kita menyaksikan orang lain bahagia oleh sebab campur tangan kita, maka kebahagiaan itu juga akan kembali kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun