Sifat Skeptis yang Merusak Kejiwaan
Rasa kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi jika tidak dialihkan kepada hal-hal baik seperti nasihat Ibnu Ajibah sebelumnya maka akan terawat dan berubah menjadi bentuk protes dan tidak terimanya kita terhadap keputusan Tuhan, yang bahkan bisa berujung pada sifat ragu dan suudzan kepada Tuhan dan menyebabkan jiwa kita menjadi sangat kotor.
Agama berperan untuk mengontrol jiwa-jiwa agar senantiasa dalam kedamaian dan kebersihan. Selayaknya wudhu dalam ilmu fiqh maka dalam ilmu tasawuf terdapat wudhu secara batin yaitu ritual penyucian dimana dengannya kita dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela.
Jika wudhu secara lahir menjadi syarat untuk bisa sah nya seseorang dalam shalat begitupun wudhu secara batin menjadi syarat untuk bisa sah nya seseorang dalam mewujudkan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan. (Dijelaskan lebih dalam pada hikam selanjutnya)
Kemudian dari shalat ini menjadikan diri kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar, maka dari rasa ikhlaslah akan menjadikan diri kita terhindar dari perbuatan tercela yaitu ragu dan suudzan!
Sebenarnya banyak sekali perbuatan tercela, tetapi pada sifat ragu dan suudzan inilah yang banyak merusak kejiwaan manusia yang pada puncaknya sering menjadikan manusia berada pada posisi sebagai kemungkinan terburuk menjadi seorang hamba yaitu kufur secara nikmat!
Kufur nikmat ini jika meminjam istilah Ibnu Athaillah adalah ikhmad annur sariratik dimana cahaya mata hati kita sudah padam. Berada satu level lebih atas dengan tertutupnya mata hati. Jika masih tertutup boleh jadi akan menjadi terbuka oleh cahaya mata hati yang masih menyala. Tetapi jika cahaya tersebut sudah padam maka hanya Tuhan lah yang mampu memberikan cahaya-Nya agar cahaya yang sudah mati tersebut kembali menyala.
Secara tidak sadar kita banyak termasuk kepada kategori yang hampir padam cahaya hatinya. Aku akan coba membaginya kepada contoh kecil dan contoh besar.
Contoh kecilnya seperti ragu-ragunya kita akan rezeki yang pada faktanya sudah Tuhan jamin selama kita berusaha. Seperti sebuah pernyataan akan keraguan mengenai rezeki makan di hari besok. Kemudian dari pernyataan tersebut naiklah ke level lebih tinggi dengan berkata "besok sepertinya saya tidak akan bisa makan". Itulah sifat suudzan yang menyebabkan padamnya cahaya mata hati!
Kemudian contoh besarnya seperti dalam satu kasus yang banyak sekali menjadikan kita sebagai umat muslim kufur nikmat, yaitu skeptis atau ragu akan datangnya hari kemenangan kita atas dunia ini. Karena pada faktanya seluruh umat muslim di dunia ini terbelakang dan bahkan terpinggirkan dikalahkan oleh dominasi budaya dan pengetahuan dari barat.
Banyak sekali para pemikir modern muslim yang banyak menyalahkan kemunduran dan keterbelakangan islam atas barat terjadi karena ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang sedang kita pelajari saat ini lewat aforisma indah Ibnu Athaillah. Lantas, apakah benar?
Jika kita merujuk pada setiap hikam yang dibahas justru Ibnu Athaillah selalu memberikan solusi-solusi indah atas permasalahan kejiwaan kita yang sebelumnya sering hancur karena dihantam oleh realita keadaan yang selalu dipandang tidak adil. Yang padahal ketidakadilan ini hanyalah ilusi untuk menutupi kelemahan manusia terhadap penerimaannya atas sunnatullah.