Sepandai-pandai Tupai Melompat, Dikejar terus Akhirnya Tertangkap Juga
Menangkap tupai (bajing: Jawa) dengan tangan kosong? Pasti sebagian dari anda tak akan percaya. Hal yang mustahil, binatang mamalia yang bobotnya tak lebih dari 250 gram itu habitat hidupnya di atas pohon, berpindah dari ranting yang satu ke ranting pohon yang lain dengan melompat di udara, bisa ditangkap dengan --sekali lagi-- tangan kosong.
Tetapi di kampungku, tempat tinggal saya dalam waktu kurang dari setengah hari dua atau tiga ekor bajing bisa ditangkap. Atau bila hari sedang mujur, empat ekor bajingpun bisa. Ahh.......masa!
Al kisah, di saat populasi bajing masih banyak, kerugian masyarakat dari hasil panen kelapa sebagai sumber penghasilan utama semakin terasa dan berdampak buruk terhadap usaha peningkatan penghasilan ekonomi keluarga.
Nah, menyikapi hal ini, dari hasil musyawarah warga satu kampung diperoleh keputusan untuk mengurangi dan "memutus rantai perkembangbiakan bajing", perlu dilakukan pemberantasan massal, melibatkan seluruh warga kampung tak terkecuali, khususnya pemuda yang tergabung dalam wadah Karang Taruna.
Mengambil momentum di bulan suci Ramadhan, pagi-pagi sekali, sebelum energi dari asupan makan sahur berangsur habis, seluruh pemuda berkumpul di rumah bapak kepala dukuh. Setelah diadakan doa bersama dipimpin Kaum Rois, dalam event khusus, "Ngutak Bajing", begitulah kami menyebut kegiatan ini.
Mulailah seluruh pemuda, juga anak, sepantaran saya menyusur gang, melewati kebun pekarangan, dan yak, satu bajing terlihat melompat-lompat di pelepah pohon kelapa. Seketika terdengar riuh gemuruh teriakan 30-40 pemuda mengakibatkan bajing terkaget-kaget dan terus melompat, dari ranting dan dahan, ke dahan pohon yang lain.
Tetapi pemuda terus bersatu tekad untuk memburu kemanapun bajing berlari dan melompat menyelamatkan diri.
Setelah sekian waktu, bajing juga lelah dan semakin lemah, dan terus digiring ke lokasi yang pepohonannya tidak terlalu rapat.
Dalam kondisi lelah, bajing biasanya berlindung dan sembunyi di sela-sela kuncup janur.
Ini menjadi tugas salah satu pemuda pemberani untuk memanjat, dan kalau bisa menangkap bajing saat ketakutan dan kelelahan. Jika tak tertangkappun tida jadi soal, sebab wajah-wajah garang tengah menunggu di bawah dengan mengambil posisi menyebar dan kesiagaan penuh, bila sang bajing melompat dan terjatuh, semua siap menerkamnya.
Tetapi ternyata tak semudah itu, sering terjadi, biar sudah terjatuh, bajing dengan sigap akan melompat ke pohon dan kembali naik ke atas, dan kami tak mau kalah.
Begitulah, setelah terus di kejar dan diburu beramai-ramai, akhirnya sekali waktu akan terjatuh juga akhirnya. Hanya saja risiko menjadi sasaran dan gigi taring bajing yang terkenal tajam dan runcing tak terhindarkan lagi.
Pertanyaannya, untuk apa bajing yang berhasil tertangkap?
Tentu bukan daging bajing yang kami inginkan.
Tetapi, jika bajing tertangkap, kami berhak mendapatkan tiga butir kelapa, atau empat butir kelapa jika berhasil ditangkap saat masih di atas pohon kelapa.
Hadiah dan bonus kelapa ini dibebankan kepada pemilik kebun dimana "tempat kejadian penangkapan" (TKP) itu berlangsung.
Seluruh kelapa hasil dari hadiah tersebut dikumpulkan dan dijual dan hasilnya diperuntukkan bagi kegiatan pemuda kampung.
Event "Nguyak Bajing" memadukan unsur kenersamaan, kerja sama, kedisiplinan, kecermatan, kesiapan energi dan tekad bulat demi kepentingan bersama.
Bahwa kesulitan apapun jika dikerjakan bersama-sama, ternyata bisa.
Rasa lelah, capai dan lemah seolah sirna, setelah malam harinya sehabis salat tarawih, secangkir teh tawar berteman kacang, ubi atau pisang rebus membersamai kami sembari merencanakan agenda untuk esok hari.
Namun setelah empat lebih dekade berlalu, event dan tradisi "Nguyak Bajing" ini, kini tiada lagi. Terlebih setelah era pemburu senapan angin bebas keluar masuk kampung mencari bajing, menyebabkan populasinya jauh berkurang. Juga eksploitasi pohon kelapa yang tak terkendali lagi seiring meningkatnya kebutuhan kayu glugu untuk pembangunan rumah.
Nuansa Ramadhan yang hilang, dan hanya tersimpan dalam kenangan.
Jogja, 19 April 2021