Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.
Tafakur dalam Euforia Idulfitri
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata), 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran:190-191).
Ketika umat Islam di seluruh dunia merayakan Idulfitri dengan penuh euforia, ada aspek spiritual yang seringkali terlupakan di tengah perayaan. Ini adalah momen yang tepat untuk mengingat pentingnya tafakur---refleksi mendalam terhadap kehidupan---yang diajarkan oleh Islam melalui berbagai ayat Alquran. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 190-191, tafakur tidak hanya sebuah aktivitas untuk meningkatkan pemahaman kita tentang tauhid, tetapi juga cara untuk mengkaji dan merenungi kejadian di sekitar kita.
Refleksi semacam ini sangat relevan, terutama setelah mengalami dua tahun pandemi yang telah mengubah banyak aspek kehidupan. Idulfitri tidak hanya seharusnya menjadi waktu untuk perayaan, tetapi juga sebagai kesempatan untuk mempertimbangkan kembali nilai-nilai kita dan memperkuat orientasi spiritual yang mungkin telah luntur. Ayat yang mengingatkan kita bahwa "hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram" (QS Ar-Ra'd: 28) semakin menegaskan pentingnya tafakur dalam menemukan kedamaian dalam diri.
Bulan Ramadan telah mengajarkan kita tentang pentingnya amal saleh yang berawal dari tafakur. Refleksi ini tidak hanya membantu kita menjadi lebih empati terhadap kaum dhuafa, tetapi juga memberikan kedamaian batin yang membantu mengendalikan emosi dan memperkuat ketahanan spiritual. Di masa "new normal" ini, ketika kita berusaha untuk kembali menggerakkan roda perekonomian, tafakur menjadi lebih penting lagi. Kita dituntut untuk tidak hanya melihat kesenjangan ekonomi yang material, tetapi juga kemiskinan spiritual yang mungkin lebih merusak.
Kemiskinan, baik material maupun spiritual, seringkali saling berkaitan dan bisa sama-sama berakibat fatal. Kaya material tetapi miskin spiritual adalah sebuah kontradiksi yang sering kita temui dalam masyarakat modern. Refleksi ini menunjukkan bahwa kita perlu mengutamakan nilai-nilai kehidupan akhirat, yang pada akhirnya akan membawa kita pada tawadhu dan amal saleh yang sesungguhnya.
Mari kita gunakan momen Idulfitri ini tidak hanya sebagai penanda kemenangan atas rasa lapar dan dahaga, tetapi juga sebagai titik balik untuk memperkuat spiritualitas dan pemahaman kita akan esensi kehidupan yang sebenarnya. Dengan hati yang fitri, mari kita tetapkan niat untuk terus tafakur dan mengaplikasikannya dalam setiap aspek kehidupan, meneguhkan dasar keimanan dan keislaman kita dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan yang mungkin datang.