Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara
Seribu Harapan Pribadi Saat Ramadan, Genapi dengan Berserah Diri Pada Ilahi
Ramadan bulan ampunan. Bulan berjuta kebaikan. Bulan dimana umat muslim beribadah dari yang paling berat yakni menahan haus dahaga hingga yang paling ringan. Konon tidurnya orang berpuasa pun menjadi bagian dari ibadah yang akan mendapat pahala.
Ramadan tahun ini kita semua dalam ujian wabah Corona. Kerinduan akan shalat taraweh berjamaah dilanjutkan dengan tadarus bersama di Istiqlal menjadi satu harapan yang harus pupus demi penanganan pendemi yang paripurna.
Demikian pun saat harapan bisa berkumpul bersama keluarga saat berakhirnya Ramadan 2020 dalam 27 hari kedepan dan merayakan lebaran harus kandas, mengingat pemberlakuan PSBB- masa tanggap Corona diperpanjang. Sungguh ikhlas dan tawakal di musim Corona selama Ramadan menjadi kunci agar harapan itu tetap terjaga meski tak terwujud adanya.
Yakin saya berkata, kita semua punya harapan yang sama. Seribu Harapan bahwa Corona lekas mereda. Bukan tanpa usaha, apalagi tanpa kepasrahan penuh alias tawakkal terhadapNya. Optimisme atau keyakinan penuh atas harapan yang kita miliki juga menjadi faktor kunci yang menunjang tercapainya harapan tersebut.
Malam kelima pada bulan suci Ramadan ini saya menyimpan seribu harapan. Teriring dengan sebentuk kepasrahan. Harapan yang begitu kuat tanpa kepasrahan konon akan mengundang kekecewaan hingga penyesalan. Saya tidak berharap manakala harapan saya itu tidak terwujud, maka saya kecewa pada Tuhan pemberi segala. Hingga ada penyesalan berkepanjangan yang justru merusak keikhlasan dalam beribadah selama bulan Ramadan.
Satu dari seribu harapan saya adalah bisa pulang ke Tegal, memastikan kondisi kesehatan orang tua, khususnya Ibu yang selama 5 bulan terakhir divonis oleh dokter mengalami komplikasi Jantung.
Harapan untuk bisa mengunjungi orangtua di Tegal sirna seketika manakala Kota Tegal memberlakukan PSBB- yang konon lebih ketat aturannya dari Jakarta, hingga memasang pembatas jalan yang terbuat dari Beton. Dalam kepasrahan saya,. Hanya video call yang bisa saya lakukan untuk memastikan bahwa Ibu baik-baik saja.
Sebagai anak, tentu saya berharap bisa meringankan beban kedua orang tua. Terlebih kabar bangkrutnya toko sepatu sandal yang selama ini menjadi etalase andalan penghasilan selama lebih dari 40 tahun.
Ya, seribu harapan harus tetap ada saat kondisi pelik melanda. Usaha toko sepatu sandal tempat bapak memajang hasil karyanya tutup, sementara ibu harus intensif dirawat oleh dokter spesialis jantung di RSUD Kardinah yang notabene menjadi RS rujukan bagi penderita Corona. Hati siapa yang tidak berdebar membayangkan keadaan orang tua yang jauh dari jangkauan tangan.
Sungguh,bagi seorang anak atas orang tuanya ,seribu harapan pribadi tersematkan. Berharap orang tua sehat-panjang umur, berharap bisa mensuport mereka secara moril material, berharap Corona lekas berlaku sehingga saya bisa sejenak pulang ke Tegal.
Sungguh seribu harapan yang saya miliki ini saya serahkan sepenuhnya pada kuasa Ilahi. Saya sudah berusaha ikhlas menerima segala kondisi. Dalam setiap hembusan nafas ibadah selama Ramadan, saya yakin dan percaya, Tuhan penguasa Semesta Alam akan dengan senang hati mengabulkan harapan dari HambaNya yang tabah dan berserah diri.
Tak lupa saya sematkan setiap harapan tersebut dalam sebentuk doa, agar harapan tersebut dapat terkabul adanya.
Aminnn